Senin, 05 Desember 2011

ANCAMAN “ BABY BOOM “ DI INDONESIA Oleh : Sutarmo


ANCAMAN “  BABY BOOM “ DI  INDONESIA
Oleh  : Sutarmo                                                        


 

             Selama tiga dekade terakhir implementasi program Keluarga Berencana ( KB ) di Indonesia, telah berhasil menurunkan angka fertilitas total( Total Fertility Rate/TFR ) dari 5,61 per wanita menjadi 2,97 per wanita atau turun sekitar 50 persen. Proporsi pasangan usia subur ( PUS ) yang memakai alat kontrasepsi dari waktu ke waktu terus meningkat. Pada tahun 1980, berdasarkan hasil  Sensus tercatat PUS yang memakai alat kontrasepsi 26 persen. Lima tahun kemudian,  angka itu telah naik menjadi 38 persen dan  dewasa ini  meningkat menjadi  lebih 55 persen.
                Di mata internasional, keberhasilan pelaksanaan KB yang mempunyai tujuan ganda,  yaitu untuk meningkatkan  kesejahteraan ibu dan anak serta  mewujudkan keluarga kecil, bahagia dan sejahtera yang menjadi dasar bagi terwujudnya masyarakat yang sejahtera tersebut, sering menjadi bahan pujian-- sebagai cerita sukses program pengurangan jumlah penduduk. Bank Dunia bahkan memuji Indonesia sebagai “ salah satu dari transisi demografi yang mengesankan di negara berkembang “.
               Dalam berbagai forum internasional, kebijakan kependudukan yang diterapkan di Indonesia dianggap sebagai model yang tepat  dan patut dicontoh untuk negara berkembang.  Sebab itu,  kerja sama Selatan-Selatan yang terkenal itu, secara konkret dimulai oleh Indonesia dengan memberikan serangkaian pelatihan dalam pelaksanaan program KB. Ini terutama juga disebabkan negara-negara donor dan institusi-institusi keuangan internasional mulai memasukkan faktor pertumbuhan penduduk yang rendah sebagai syarat pinjaman.
               Sayangnya, sejak  badai krisis ekonomi menggoncang Indonesia tiga tahun silam dan hingga kini belum pulih, ternyata berdampak yang tidak menguntungkan dan  bahkan menggoyahkan prestasi yang  telah diraih program KB itu. Banyak  peserta KB mandiri yang  terpaksa droup out  akibat tak mampu lagi membeli alat KB yang harganya terus meroket. Peserta KB mandiri yang semula telah mencapai 40 persen, selama masa krisis telah turun menjadi sekitar 30 persen. Mereka terpaksa mendahulukan beli kebutuhan pokok seperti beras, ketimbang untuk membeli alat atau obat KB.
Emergency
               Rendahnya daya beli masyarakat khususnya mereka yang tergolong miskin itu,  diperparah  dengan menipisnya alat kontrasepsi yang disediakan pemerintah. Pemerintah sendiri, kini  sedang kesulitan untuk menyediakan dana yang diperlukan untuk program KB, yang setiap tahunnya diperkirakan membutuhkan dana sekitar Rp 160 milyar. Kebutuhan dana sebesar itu, selama ini sebagian besar diperoleh dari bantuan luar negeri. Pemerintah hanya mampu menyediakan dana Rp 50 milyar.
               Menurut Menneg Pemberdayaan Perempuan dan Kepala BKKBN, Dra.Hj. Khofifah Indar Parawansa, sebenarnya kini telah ada funding yang ikut mendanai pengadaan alat KB. Namun entah mengapa hingga saat ini belum juga cair, sementara kebutuhan kontrasepsi sangat mendesak, bahkan di berbagai daerah, persediaan alat KB seperti pil sudah sangat menipis, hanya cukup untuk memenuhi permintaan sekitar satu atau dua bulan saja. “ Kecenderungan menipisnya alat kontrasepsi ini merupakan emergency.  Jika persediaan habis akan menjadi bumerang bagi kita, sebab akan terjadi baby boom”, katanya di Semarang belum lama ini.
                 Kekhawatiran  akan terjadinya ledakan bayi ( baby boom )seperti itu memang cukup beralasan. Selain keterbatasan alat kontrasepsi yang mampu disediakan pemerintah dan rendahnya daya beli masyarakat sebagaimana dikemukakan di atas. Juga  dikarenakan dewasa ini  jumlah penduduk muda yang akan memasuki jenjang perkawinan  masih cukup besar. Jumlah penduduk wanita usia muda ( 15-29 tahun ) diperkirakan terus bertambah dari sekitar 23 juta  menjadi  31 juta pada tahun 2005 mendatang. Masih tingginya  kelompok penduduk muda ini akibat  gema fertilitas yang tinggi di masa lampau.
                Kondisi   yang  cukup menghawatirkan  itu, memang  harus segera diantisipasi. Sebab bila terlambat mengantisipasinya,  ancaman ledakan bayi  di Indonesia  dapat menjadi kenyataan. Dan bila  hal ini yang terjadi, tentunya akan menambah kompleksitasnya problem kependudukan saat ini, seperti makin bertambahnya  balita kurang gizi,  memperburuk kondisi kesehatan ibu, tuntutan fasilitas kesehatan, sekolah, lapangan pekerjaan  yang akhirnya akan lebih memperburuk kualitas generasi di masa mendatang. Akibat lebih jauh lagi, hasil-hasil pembangunan  tentunya menjadi kurang berarti bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat dan  kualitas manusia  karena akan habis ditelan oleh pertumbuhan penduduk yang makin tidak terkendali.
                Dengan kata lain, keterlambatan kita mengantisipasi ledakan bayi akan dapat menggoyahkan keberhasilan yang telah diraih Indonesia dalam menurunkan angka fertilitas. Total Fertility Rate/TFR yang telah berhasil diturunkan menjadi hanya 2,7 anak, dapat saja  bertambah besar  atau justru akan mengalami kemandegan ( stalling fertilitas ). Dalam hal ini kita dapat belajar dari negara lain yang pernah mengalami stalling fertilitas yaitu Korea Selatan dan Costa Rica. Di Korea Selatan, tingkat fertilitas telah mengalami penurunan secara drastis dari sekitar 6 anak (1960 ) menjadi 2 anak ( 1985 ) dan angka ini bertahan ( stalling ) hingga sekarang. Sedangkan di Costa Rica, telah mampu menurunkan TFR dari 7 anak ( 1960 ) menjadi 3,5 anak ( 1975 ) dan angka TFR ini terus bertahan hingga kini. Berdasarkan hasil survei,  diketahui bahwa di Korea Selatan mempunyai komitmen yang tetap kuat dalam pelaksanaan KB, sedangkan di Costa Rica  komitmen yang kuat kemudian mengendor setelah tahun 1975.
Skala Prioritas
             Penduduk Indonesia saat ini diperkirakan lebih  202 juta jiwa, dan dengan jumlah penduduk sebesar itu, negara kita menempati rangking  ke-4  negara terbesar penduduknya setelah  Cina, India dan Amerika Serikat.  Bila Indonesia mampu mengantisipasi kemungkinan “ baby boom “ dan dapat melestarikan keberhasilannya dalam mengendalikan fertilitas melalui program KB,  menurut proyeksi terbaru PBB, Indonesia akan menggeser urutan jumlah penduduk menjadi urutan ke enam pada tahun 2050.
             Tapi,  kalau kita gagal dalam melaksanakan KB di masa krisis  ini,  tentunya laju pertumbuhan penduduk akan tetap atau justru meningkat. Sehingga urutan ke enam bagi Indonesia di dunia tidak akan tercapai. Kita mungkin saja akan tetap menjadi negara  ke empat atau bahkan menjadi negara ke tiga setelah India dan Cina.
             Sesungguhnya,  besarnya jumlah penduduk tentunya dapat menjadi modal dasar pembangunan  manakala diimbangi dengan kualitas penduduk yang memadai. Tapi kenyataanya bagi Indonesia, besarnya jumlah penduduk  belum diikuti oleh meningkatnya kualitas. Hal ini tercermin antara lain, sebagian besar masyarakatnya agraris tradisional, tingkat pengangguran masih tinggi,  tingkat pendidikan,  pendapatan per kapita, tingkat kesehatan dan status gizi relatif masih rendah. Kondisi ini mengakibatkan besarnya jumlah penduduk belum dapat dimanfaatkan secara optimal sebagai modal pembangunan  tetapi justru menjadi beban pembangunan.
                Sesuai dengan amanat dalam UU N0. 10/1992 Tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Sejahtera, maka agar penduduk dapat menjadi sumberdaya pembangunan perlu ditingkatkan kualitasnya, dikendalikan jumlahnya dan diarahkan mobilitasnya, sehingga penduduk benar-benar menjadi pelaku dan sasaran pembangunan bangsa. Untuk itulah, meski dampak dari  situasi krisis ekonomi telah menggoyahkan  program KB  namun kita tetap harus berupaya untuk mempertahankan atau bahkan meningkatkan prestasi yang diraih selama ini.
                 Beberapa faktor penting yang harus menjadi skala prioritas program yaitu pertama,  melakukan intervensi terhadap variabel langsung yang meliputi penyediaan alat kontrasepsi bagi PUS ( pasangan usia subur ). Dalam hal ini, perlu  adanya diferensiasi dalam pelayanan. Bagi perempuan usia reproduktif tua ( 30 –49 tahun ) akan lebih membutuhkan kontrasepsi  untuk tujuan berhenti dari kehamilan. Kontrasepsi yang dibutuhkan bersifat aman dan berjangka panjang seperti IUD, Implant, atau dapat saja dilayani MO. Sedang bagi PUS muda ( kurang 30 tahun ) tujuan penggunaan alat kontrasepsi untuk menunda atau menjarangkan kehamilan. Untuk ini kontrasepsi yang dibutuhkan biasanya non MKJP ( Methode Kontrasepsi Jangka Panjang ) seperti suntikan, pil dan sebagainya.
                  Penyediaan alat kontrasepsi  “ gratis di masa kirisi ini, tampaknya masih sangat dibutuhkan. Namun hendaknya diprioritaskan bagi PUS yang benar-benar membutuhkan bantuan ( keluarga miskin atau pra KS dan KS I ), sambil tetap didorong  untuk berusaha mandiri. Untuk mendorong kemandirian ini, bantuan yang berupa pelatihan ekonomi produktif seperti Takesra ( Tabungan Keluarga Sejahtera), Kukesra( Kredit Keluarga Sejahtera), KPTTG( Kredit Penerapan Teknologi Tepat Guna) dan bentuk bantuan lainnya sangat diperlukan guna lebih memberdayakan keluarga.
                Sedangkan mereka yang tergolong “ mampu “ agar terus didorong dapat dilayani melalui jalur KB Mandiri. Anggapan mahalnya harga alat kontrasepsi sekarang ini, sebenarnya harus dihilangkan. Sebab kalau diperhitungkan masih dalam batas yang wajar. Bahkan kalau dilihat manfaatnya sebagai sarana untuk membentuk keluarga yang bahagia dan sejahtera, sesungguhnya harga kontrasepsi tergolong murah. Sekedar contoh, biaya suntik KB sekitar Rp 9 ribu untuk tiga bulan. Kalau dihitung biaya KB tiap hari Rp100,-        
Pola Lama
            Faktor kedua,  model pelayanan safari yang melibatkan sejumlah besar akseptor dengan sistem target, hendaknya secara bertahap mulai ditinggalkan. Selain jaminan mutu pelayanan tidak optimal,  model pelayanan pola lama ini sudah dikenal luas sampai luar negeri. G.J. Hugo dkk, The Demographic Dimension in Indonesian Development ( 1987 ) menulis model safari dengan sistem target dapat merubah orientasi  yang bersifat melayani ke arah pemaksaan.
           Meski kita dapat membantah bahwa model pelayanan seperti itu masih dibutuhkan dan tidak ada pemaksaan,  namun hendaknya  unsur “pemaksaan”  di lapangan jangan sampai terjadi dan perlu diwaspadai. Model pelayanan safari, mungkin dapat diganti dengan pelayanan khusus  yang lebih mengedepankan pelayanan berkualitas. Bentuk pelayanan kontrasepsi yang sesuai dengan pilihan akseptor dan cocok dengan kondisi tubuh dan kesehatan. Dengan model ini, target benar-benar sebagai alat management, yang merupakan ancar-ancar perkiraan permintaan masyarakat dan bukan sebagai target untuk memenuhi jumlah akseptor tertentu sesuai dengan yang dikehendaki pimpinan ( Penulis adalah mahasiswa pasca sarjana PKLH UNS dan staff BKKBN Surakarta).
              














Tidak ada komentar:

Posting Komentar