ANCAMAN “ BABY BOOM “
DI INDONESIA
Oleh : Sutarmo
Selama tiga dekade terakhir
implementasi program Keluarga Berencana ( KB ) di Indonesia, telah berhasil
menurunkan angka fertilitas total( Total Fertility Rate/TFR ) dari 5,61 per
wanita menjadi 2,97 per wanita atau turun sekitar 50 persen. Proporsi pasangan
usia subur ( PUS ) yang memakai alat kontrasepsi dari waktu ke waktu terus
meningkat. Pada tahun 1980, berdasarkan hasil
Sensus tercatat PUS yang memakai alat kontrasepsi 26 persen. Lima tahun
kemudian, angka itu telah naik menjadi
38 persen dan dewasa ini meningkat menjadi lebih 55 persen.
Di mata internasional, keberhasilan
pelaksanaan KB yang mempunyai tujuan ganda,
yaitu untuk meningkatkan
kesejahteraan ibu dan anak serta
mewujudkan keluarga kecil, bahagia dan sejahtera yang menjadi dasar bagi
terwujudnya masyarakat yang sejahtera tersebut, sering menjadi bahan pujian--
sebagai cerita sukses program pengurangan jumlah penduduk. Bank Dunia bahkan
memuji Indonesia sebagai “ salah satu
dari transisi demografi yang mengesankan di negara berkembang “.
Dalam berbagai forum
internasional, kebijakan kependudukan yang diterapkan di Indonesia dianggap
sebagai model yang tepat dan patut
dicontoh untuk negara berkembang. Sebab
itu, kerja sama Selatan-Selatan yang
terkenal itu, secara konkret dimulai oleh Indonesia dengan memberikan
serangkaian pelatihan dalam pelaksanaan program KB. Ini terutama juga
disebabkan negara-negara donor dan institusi-institusi keuangan internasional
mulai memasukkan faktor pertumbuhan penduduk yang rendah sebagai syarat
pinjaman.
Sayangnya, sejak badai krisis ekonomi menggoncang Indonesia
tiga tahun silam dan hingga kini belum pulih, ternyata berdampak yang tidak
menguntungkan dan bahkan menggoyahkan
prestasi yang telah diraih program KB
itu. Banyak peserta KB mandiri yang terpaksa droup out akibat tak mampu lagi membeli alat KB yang
harganya terus meroket. Peserta KB mandiri yang semula telah mencapai 40
persen, selama masa krisis telah turun menjadi sekitar 30 persen. Mereka
terpaksa mendahulukan beli kebutuhan pokok seperti beras, ketimbang untuk
membeli alat atau obat KB.
Emergency
Rendahnya daya beli masyarakat khususnya mereka yang tergolong miskin
itu, diperparah dengan menipisnya alat kontrasepsi yang
disediakan pemerintah. Pemerintah sendiri, kini
sedang kesulitan untuk menyediakan dana yang diperlukan untuk program
KB, yang setiap tahunnya diperkirakan membutuhkan dana sekitar Rp 160 milyar.
Kebutuhan dana sebesar itu, selama ini sebagian besar diperoleh dari bantuan
luar negeri. Pemerintah hanya mampu menyediakan dana Rp 50 milyar.
Menurut Menneg Pemberdayaan Perempuan
dan Kepala BKKBN, Dra.Hj. Khofifah Indar Parawansa, sebenarnya kini telah ada funding yang ikut mendanai pengadaan
alat KB. Namun entah mengapa hingga saat ini belum juga cair, sementara
kebutuhan kontrasepsi sangat mendesak, bahkan di berbagai daerah, persediaan
alat KB seperti pil sudah sangat menipis, hanya cukup untuk memenuhi permintaan
sekitar satu atau dua bulan saja. “ Kecenderungan menipisnya alat kontrasepsi
ini merupakan emergency. Jika
persediaan habis akan menjadi bumerang bagi kita, sebab akan terjadi baby
boom”, katanya di Semarang belum lama ini.
Kekhawatiran akan terjadinya
ledakan bayi ( baby boom )seperti
itu memang cukup beralasan. Selain keterbatasan alat kontrasepsi yang mampu
disediakan pemerintah dan rendahnya daya beli masyarakat sebagaimana
dikemukakan di atas. Juga dikarenakan
dewasa ini jumlah penduduk muda yang
akan memasuki jenjang perkawinan masih
cukup besar. Jumlah penduduk wanita usia muda ( 15-29 tahun ) diperkirakan
terus bertambah dari sekitar 23 juta
menjadi 31 juta pada tahun 2005
mendatang. Masih tingginya kelompok
penduduk muda ini akibat gema fertilitas
yang tinggi di masa lampau.
Kondisi yang
cukup menghawatirkan itu,
memang harus segera diantisipasi. Sebab
bila terlambat mengantisipasinya,
ancaman ledakan bayi di
Indonesia dapat menjadi kenyataan. Dan
bila hal ini yang terjadi, tentunya akan
menambah kompleksitasnya problem kependudukan saat ini, seperti makin
bertambahnya balita kurang gizi, memperburuk kondisi kesehatan ibu, tuntutan
fasilitas kesehatan, sekolah, lapangan pekerjaan yang akhirnya akan lebih memperburuk kualitas
generasi di masa mendatang. Akibat lebih jauh lagi, hasil-hasil
pembangunan tentunya menjadi kurang
berarti bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat dan kualitas manusia karena akan habis ditelan oleh pertumbuhan
penduduk yang makin tidak terkendali.
Dengan kata lain, keterlambatan
kita mengantisipasi ledakan bayi akan dapat menggoyahkan keberhasilan yang
telah diraih Indonesia dalam menurunkan angka fertilitas. Total Fertility
Rate/TFR yang telah berhasil diturunkan menjadi hanya 2,7 anak, dapat saja bertambah besar atau justru akan mengalami kemandegan ( stalling
fertilitas ). Dalam hal ini kita dapat belajar dari negara lain yang
pernah mengalami stalling fertilitas
yaitu Korea Selatan dan Costa Rica. Di Korea Selatan, tingkat fertilitas telah
mengalami penurunan secara drastis dari sekitar 6 anak (1960 ) menjadi 2 anak (
1985 ) dan angka ini bertahan ( stalling ) hingga sekarang.
Sedangkan di Costa Rica, telah mampu menurunkan TFR dari 7 anak ( 1960 )
menjadi 3,5 anak ( 1975 ) dan angka TFR ini terus bertahan hingga kini.
Berdasarkan hasil survei, diketahui
bahwa di Korea Selatan mempunyai komitmen yang tetap kuat dalam pelaksanaan KB,
sedangkan di Costa Rica komitmen yang
kuat kemudian mengendor setelah tahun 1975.
Skala
Prioritas
Penduduk Indonesia saat
ini diperkirakan lebih 202 juta jiwa,
dan dengan jumlah penduduk sebesar itu, negara kita menempati rangking ke-4
negara terbesar penduduknya setelah
Cina, India dan Amerika Serikat.
Bila Indonesia mampu mengantisipasi kemungkinan “ baby boom “ dan dapat
melestarikan keberhasilannya dalam mengendalikan fertilitas melalui program
KB, menurut proyeksi terbaru PBB,
Indonesia akan menggeser urutan jumlah penduduk menjadi urutan ke enam pada
tahun 2050.
Tapi, kalau kita gagal dalam melaksanakan KB di
masa krisis ini, tentunya laju pertumbuhan penduduk akan tetap
atau justru meningkat. Sehingga urutan ke enam bagi Indonesia di dunia tidak
akan tercapai. Kita mungkin saja akan tetap menjadi negara ke empat atau bahkan menjadi negara ke tiga
setelah India dan Cina.
Sesungguhnya, besarnya jumlah penduduk tentunya dapat
menjadi modal dasar pembangunan manakala
diimbangi dengan kualitas penduduk yang memadai. Tapi kenyataanya bagi
Indonesia, besarnya jumlah penduduk
belum diikuti oleh meningkatnya kualitas. Hal ini tercermin antara lain,
sebagian besar masyarakatnya agraris tradisional, tingkat pengangguran masih
tinggi, tingkat pendidikan, pendapatan per kapita, tingkat kesehatan dan
status gizi relatif masih rendah. Kondisi ini mengakibatkan besarnya jumlah
penduduk belum dapat dimanfaatkan secara optimal sebagai modal pembangunan tetapi justru menjadi beban pembangunan.
Sesuai dengan amanat dalam UU
N0. 10/1992 Tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga
Sejahtera, maka agar penduduk dapat menjadi sumberdaya pembangunan perlu
ditingkatkan kualitasnya, dikendalikan jumlahnya dan diarahkan mobilitasnya,
sehingga penduduk benar-benar menjadi pelaku dan sasaran pembangunan bangsa.
Untuk itulah, meski dampak dari situasi
krisis ekonomi telah menggoyahkan program
KB namun kita tetap harus berupaya untuk
mempertahankan atau bahkan meningkatkan prestasi yang diraih selama ini.
Beberapa faktor penting yang
harus menjadi skala prioritas program yaitu pertama, melakukan
intervensi terhadap variabel langsung yang meliputi penyediaan alat kontrasepsi
bagi PUS ( pasangan usia subur ). Dalam hal ini, perlu adanya diferensiasi dalam pelayanan. Bagi
perempuan usia reproduktif tua ( 30 –49 tahun ) akan lebih membutuhkan
kontrasepsi untuk tujuan berhenti dari
kehamilan. Kontrasepsi yang dibutuhkan bersifat aman dan berjangka panjang
seperti IUD, Implant, atau dapat saja dilayani MO. Sedang bagi PUS muda (
kurang 30 tahun ) tujuan penggunaan alat kontrasepsi untuk menunda atau
menjarangkan kehamilan. Untuk ini kontrasepsi yang dibutuhkan biasanya non MKJP
( Methode Kontrasepsi Jangka Panjang ) seperti suntikan, pil dan sebagainya.
Penyediaan alat
kontrasepsi “ gratis “ di masa kirisi ini, tampaknya masih
sangat dibutuhkan. Namun hendaknya diprioritaskan bagi PUS
yang benar-benar membutuhkan bantuan ( keluarga miskin atau pra KS dan KS I ),
sambil tetap didorong untuk berusaha
mandiri. Untuk mendorong kemandirian ini, bantuan yang berupa pelatihan ekonomi
produktif seperti Takesra ( Tabungan Keluarga Sejahtera), Kukesra( Kredit
Keluarga Sejahtera), KPTTG( Kredit Penerapan Teknologi Tepat Guna) dan bentuk
bantuan lainnya sangat diperlukan guna lebih memberdayakan keluarga.
Sedangkan mereka yang tergolong “
mampu “ agar terus didorong dapat dilayani melalui jalur KB Mandiri. Anggapan
mahalnya harga alat kontrasepsi sekarang ini, sebenarnya harus dihilangkan.
Sebab kalau diperhitungkan masih dalam batas yang wajar. Bahkan kalau dilihat
manfaatnya sebagai sarana untuk membentuk keluarga yang bahagia dan sejahtera,
sesungguhnya harga kontrasepsi tergolong murah. Sekedar contoh, biaya suntik KB
sekitar Rp 9 ribu untuk tiga bulan. Kalau dihitung biaya KB tiap hari Rp100,-
Pola
Lama
Faktor kedua, model pelayanan safari yang melibatkan
sejumlah besar akseptor dengan sistem target, hendaknya secara bertahap mulai
ditinggalkan. Selain jaminan mutu pelayanan tidak optimal, model pelayanan pola lama ini sudah dikenal
luas sampai luar negeri. G.J. Hugo dkk, The Demographic Dimension in Indonesian
Development ( 1987 ) menulis model safari dengan sistem target dapat
merubah orientasi yang bersifat melayani
ke arah pemaksaan.
Meski kita dapat membantah bahwa
model pelayanan seperti itu masih dibutuhkan dan tidak ada pemaksaan, namun hendaknya unsur “pemaksaan” di lapangan jangan sampai terjadi dan perlu
diwaspadai. Model pelayanan safari, mungkin dapat diganti dengan pelayanan khusus
yang lebih mengedepankan
pelayanan berkualitas. Bentuk pelayanan kontrasepsi yang sesuai dengan pilihan
akseptor dan cocok dengan kondisi tubuh dan kesehatan. Dengan model ini, target
benar-benar sebagai alat management, yang merupakan ancar-ancar perkiraan
permintaan masyarakat dan bukan sebagai target untuk memenuhi jumlah akseptor
tertentu sesuai dengan yang dikehendaki pimpinan ( Penulis adalah mahasiswa pasca
sarjana PKLH UNS dan staff BKKBN Surakarta).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar