Hari Keluarga Nasional
Ke-VIII, 29 Juni :
MENGHINDARI
EKSES NEGATIF PROGRAM KB
Oleh Sutarmo
KEBERHASILAN program KB selama ini, memang tidak diragukan
lagi. Sejak dicanangkan program ini pada 1970, hingga kini telah berhasil menurunkan angka fertilitas total ( TFR/Total
Fertility Rate ) dari 5,61 per wanita
menjadi 2,78 per wanita. Turunnya angka fertilitas ini, terbukti memberikan
andil besar terhadap penurunan laju pertumbuhan penduduk menjadi 1, 35 persen ( SP, 2000 ).
Masih
banyak lagi prestasi KB yang dikoordinir
BKKBN ini. Tapi, kalau “
diperas “ menjadi satu, keberhasilan
program KB nasional yang utama adalah kemampuan merubah sikap mental dan
perilaku bagian terbesar bangsa Indonesia. Dari budaya keluarga besar menjadi keluarga kecil
sebagai prasyarat membangun keluarga
berkualitas, keluarga yang bahagia dan sejahtera.
Karena
itu, pandangan “ the more the merrier “ atau tiap anak akan membawa rezekinya sendiri;
banyak anak banyak rezeki, dan banyak lagi pandangan pro- natalis semacam
ini, sudah banyak ditinggalkan
masyarakat. Orang tua sekarang, tidak lagi mendorong putra-putrinya untuk
menikah pada usia yang terlalu muda atau mempunyai banyak anak.
Untuk melakukan perkawinan diperlukan
persiapan mental, sosial dan ekonomi yang cukup. Banyak anak, justru banyak
masalah. Lebih baik anak sedikit tapi berkualitas, ketimbang banyak anak
membawa masalah. Anak itu, titipan Tuhan yang harus dididik sebaik-baiknya.
Inilah pandangan yang sekarang berkembang dalam masyarakat dan keluarga kita.
Melanggar Hak Individu
Namun
dibalik keberhasilan program KB nasional tersebut, ada pula ekses negatifnya yang harus
dihindari dan sekaligus menjadi tantangan program KB ke depan. Sebagai orang
yang banyak menggeluti soal KB di lapangan,
nampaknya terdapat paling sedikit
lima ekses nagatif dalam
pelaksanaan KB selama ini.
Pertama,
kurangnya perhatian terhadap hak-hak dasar penduduk. Kritikan semacam ini, sebenarnya mencuat sudah cukup lama bukan
hanya di dalam negeri tapi juga sampai kalangan internasional. G.J.
Hugo dkk, The Demographic Dimensien in Indonesian Development ( 1987 ) misalnya, mengungkapkan kritikan pelaksanaan
KB di Indonesia dengan model safari atau safari senyum dengan
sistem target.
Dengan
sistem target seperti itu, katanya, dapat mengubah orientasi yang bersifat
melayani ke arah pemaksaan. Penduduk umumnya lebih banyak dipaksa dibanding
diajak untuk memilih mengikuti program KB. Sehingga muncul kesan bahwa program
KB di beberapa daerah lebih sebagai kegiatan pemaksaan penduduk untuk memakai
alat kontrasepsi. Eksistensi hak-hak individu untuk mengatur sendiri kegiatan
reproduksinya terabaikan.
Kedua, pelaksanaan KB kurang memperhatikan
kesehatan ibu dan anak. Kesan ini muncul ketika BKKBN masih menerapkan sistim
target dalam pelaksanaan program KB. Akibat fokusnya yang terlalu berat pada
pencapaian target, maka wajar saja aspek kualitas pelayanan program KB menjadi
kurang diperhatikan. Kesehatan ibu dan anak,
belum menjadi bagian integral dari pelayanan program KB. Ketiga,
kurang memperhatikan aspek gender. Sasaran program selama ini selalu penduduk
perempuan, sementara penduduk laki-laki kurang dijadikan prioritas. Padahal
keberhasilan program KB juga memerlukan keterlibatan aktif penduduk
laki-laki. Akibatnya urusan pengaturan
kelahiran ( fertilitas ) sering disempitkan menjadi urusan kaum perempuan tanpa
menuntut tanggungjawab penuh penduduk laki-laki. Lihat saja, penduduk laki-laki sampai sekarang pun sangat
sedikit yang menjadi kader KB. Laki-laki yang menjadi akseptor KB, juga amat
sedikit, secara nasional hanya sekitar 3
persen.
Ke
empat, kurang mengindahkan sisi remaja dalam program KB. Berbagai
penelitian yang dilakukan di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Medan, Yogya, Bandung, Menado, Semarang dan
di kota lainnya, ternyata menunjukan hasil yang
kurang lebih sama : fenomena kehamilan dan penyalahgunaan kontrasepsi di
kalangan remaja dianggap hal yang lumrah terjadi. Meski ekses negatif itu bukan
sepenuhnya akibat kampanye KB yang begitu meluas, namun fenomena itu sering
dialamatkan ke BKKBN.
Terakhir,
ada kesan bahwa program KB kurang memfokus. Sejak dicanangkan tahun 1970,
program KB menyusup ke mana-mana. Hampir semua departemen dimasuki KB. Juga,
berbagai organisasi masyarakat ( LSOM ) tak luput jadi sasaran petugas KB.
Jajaran BKKBN, tidak hanya berurusan dengan petugas medis. Tapi juga dengan petugas
Bank, Posindo, pegawai pertanian, koperasi, perdagangan dan sebagainya.
Lalu, banyak masyarakat yang
bertanya-tanya : selain ngurusi KB, sebenarnya program apa saja yang “ khas “
milik BKKBN ?
Lebih Manusiawi
Manfaat yang
diperoleh program KB, memang jauh lebih besar dibanding ekses negatif yang
mengikutinya. Kendati demikian, ekses
negatif pengendalian fertilitas sebagaimana disebut di atas, sesungguhnya sudah
dan akan terus diperbaiki, dan
ditanggulangi.
Dalam
berbagai kesempatan, Menneg PP dan
Kepala BKKBN Khofifah Indar Parawansa
menegaskan, bahwa salah satu
prioritas program KB sekarang ini yaitu peningkatan kualitas pelayanan KB dan
kesehatan reproduksi. Metode kontrasepsi yang cocok untuk setiap suami instri
dan individu sangat bervariasi tergantung umur, paritas, besarnya keluarga, dan
faktor lainnya.
“ Oleh
sebab itu, kebijaksanaan umumnya adalah tidak ada satupun metode kontrasepsi
yang ideal untuk semua orang. Sehingga setiap calon akseptor berhak memilih
metode yang dianggap cocok, asalkan tidak bertentangan dengan kondisi
kesehatannnya “, jelas Khofifah Indar
Parawansa.
Hakekat
program KB, sejak awal memang
tidak mengenal adanya pemaksaan terhadap pemakaian kontrasepsi.. Sebab,
pemaksaan bertentangan dengan UU RI N0.10/1992 Tentang Perkembangan
Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Sejahtera. Dalam pasal 17 UU itu, antara
lain disebutkan bahwa pengaturan kelahiran diselenggarakan dengan tata cara
yang berdaya guna dan berhasil guna, serta dapat diterima oleh pasangan suami
istri sesuai dengan pilihannya.
Disebutkan pula bahwa
penyelenggaraan pengaturan kelahiran dilakukan dengan cara yang dapat dipertanggungjawabkan. Baik dari segi
kesehatan, etik, maupun agama yang dianut penduduk yang bersangkutan. Jadi,
kalau masih muncul kritikan adanya unsur pemaksaan, melanggar etika dalam penyelenggaraan program
KB, tentunya tidak sepenuhnya benar. Walau begitu, kita memang harus tetap
waspada agar KB tetap dilaksanakan secara lebih manusiawi, lebih persuasif, dan lebih berkualitas.
Dalam
paradigmanya yang baru, program KB dilaksanakan dengan visi :”Keluarga Berkualitas 2015”. Kampanye Keluarga Berkualitas ini,
secara nasional dimulai 29 Juni ini, bertepatan dengan peringatan Hari Keluarga
Nasional Ke-VIII. Acuan pokok visi baru program KB itu adalah, kesepakatan
dalam International Conference on
Population and Development ( ICPD)
di Cairo 1994 dan Beijing Platform
for Action 1995 serta GBHN 1999 . Program KB kemudian dikembangkan menjadi Program Kesehatan Reproduksi ( Reproductive Health Program ) yang bertujuan bukan hanya
untuk mengendalikan kelahiran, tapi lebih difokuskan untuk meningkatkan
kualitas penduduk, mutu SDM dan mengurangi kematinan dalam rangka mencapai
keluarga berkualitas.
Kebijakan yang menyangkut peningkatan kualitas, tentu akan lebih memperhatikan dengan saksama
masalah kesehatan ibu dan anak, pemberian informasi seluas-luasnya tentang
kesehatan reproduksi untuk pria dan wanita
secara seimbang. Jadi, program KB ke depan, tidak hanya difokuskan pada wanita
sebagaimana dilaksanakan sebelum ini.
Peningkatan kualitas pelayanan juga akan ditujukan pada kelompok-kelompok
remaja, pria dan usia pasca reproduksi .
Hal ini didasari atas situasi dimana remaja
memiliki permasalahan reproduksi yang sangat komplek, yang tidak mungkin dipecahkan tanpa adanya
kebijakan dan program secara khusus. Jumlah penduduk remaja semakin meningkat
sejalan dengan masalah mereka yang timbul,
karena semakin luasnya dampak globalisasi dalam kehidupan sosial dan
budaya.
Adanya
kecenderungan peningkatan usia kawin pertama memerlukan kebijakan untuk
memperkokoh moral, mental, kejiwaan, dan perlindungan kesehatan bagi remaja
agar tidak terpengaruh buruk dalam kehidupannya. Beberapa masalah penyimpangan perilaku
seksual menimbulkan komplikasi berupa kehamilan diluar nikah, penyakit seksual
menular, dan penyakit HIV/AIDS. Sebab itu, diperlukan program prioritas yang
mempromosikan kesehatan reproduksi remaja agar masalah-masalah tersebut tidak
semakin berat.
Selain
memberikan prioritas pada kualitas pelayanan dan kesehatan reproduksi, ke depan
program KB juga dituntut untuk tetap memberikan jaminan pelayanan bagi keluarga
sangat miskin dan miskin yang jumlahnya kian membengkak, tetap membantu mereka
yang mampu agar biaya pelayanan tidak terlalu tinggi, dan meneruskan usaha-usaha untuk membangun
keluarga yang berkualitas, keluarga yang bahagia dan sejahtera.
Untuk mencapai sasaran program, tentu
pemerintah dalam hal ini BKKBN tidak mungkin berhasil tanpa kerja sama dan
bantuan semua komponen bangsa. Sebab
itu, pada era otonomi daerah sekarang ini, peran pimpinan daerah menjadi sangat
menentukan suksesnya program KB nasional. Untuk itu, integrasi program KB
dengan sektor pembangunan daerah harus tetap dijalankan. Kecuali itu, perlu
terus mendorong peran aktif masyarakat dan
sektor swasta untuk bersatu -
padu mewujudkan keluarga berkualitas.( Penulis, Mahasiswa Program Pasca Sarjana
PKLH UNS dan Staff BKKBN Solo )
Daftar Bacaan
1.BKKBN Opini Nomor 2-Tahun 1999, Pendapat Umum tentang keluarga berencana, keluarga sejahtera, dan kependudukan. Jakarta : BKKBN
2.____________, UU. N0.10/1992 Tentang
Perkembangan Kependudukan Dan
Pembangunan Keluarga Sejahtera. Jakarta :
BKKBN
3._____________, PP. N0. 21/1994 Tentang
Penyelenggaraan Pembangunan Keluarga
Sejahtera Di Indonesia. Jakarta : 1994
4.______________, Pemberdayaan Keluarga Menuju Sumber Daya Manusia Potensial. Jakarta
: 1999
5.______________, 2001. Kebijakan Teknis KB dan Kesehatan Reproduksi. Jakarta : 2001.
6.
Fawzia Aswin Hadis, 2000. Kesiapan Remaja
dalam Kesehatan Reproduksi. Jakarta : BKKBN
7.
Khofifah Indar Parawansa, 2000. Pokok-Pokok
Pikiran Kebijakan dan Strategi Era Baru Gerakan KB Nasional. Jakarta :
Warta Demografi UI, Tahun Ke-30,N0.1, 2000
Tidak ada komentar:
Posting Komentar