Sabtu, 10 Desember 2011

MEMBERANTAS TUNTAS NARKOBA


UPAYA TUNTAS MEMBERANTAS

NARKOBA DAN AIDS[1]



 

Oleh  : Sutarmo



 

Dewasa ini terdapat dua “penyakit“ keluarga yang dapat memporakporandakan kehidupan keluarga, yaitu Narkoba dan  AIDS.  Ke dua penyakit  tersebut, saling terkait dan secara bersama-sama merupakan ancaman luar biasa terhadap sumber daya manusia dan bisa menghancurkan masa depan generasi muda kita. Untuk menanggulangi permasalahan besar tadi, tidak cukup dilakukan oleh pemerintah dan beberapa organisasi penggerak masa. Masalahnya sudah amat kompleks dan tak lepas dari masalah agama, sosial, budaya, ekonomi dan politik. Oleh sebab itu, dalam tulisan ini, Sutarmo menyarankan agar penanggulangan Narkoba dan AIDS dilakukan tidak saja  melalui penegakan supremasi hukum, namun juga harus   lewat akar permasalahan dalam kehidupan keluarga yaitu kemiskinan materi, kemiskinan iman dan kemiskinan informasi. Setiap usaha membasmi Narkoba dan AIDS yang tidak melihat realitas “ kemiskinan “ dalam keluarga hanya akan berakhir dengan kekalahan.

I. PENDAHULUAN
                 KELUARGA- keluarga  di Indonesia,  dewasa ini tengah mengalami  berbagai krisis dan   “ cobaan”  amat berat.  Selain  harus berjuang mengatur roda kehidupan ekonominya akibat  badai krisis yang melanda negeri ini sejak

pertengahan 1997 dan hingga  kini belum ada tanda-tanda akan berakhir, juga  harus menghadapi  berbagai gempuran penyakit sosial yang kini  makin merebak di sekeliling keluarga. Dua  penyakit yang amat menakutkan dan dapat memporak-porandakan  kehidupan keluarga  itu adalah, Narkoba ( narkotika dan obat-obatan berbahaya )  dan AIDS ( Aquired Immuno Deficiency Syndrome ).
           Bagi sebuah negara,  bila  problem Narkoba dan AIDS tidak segera ditanggulangi secara serius,  tentu merupakan ancaman luar biasa terhadap sumber daya manusia dan  dapat menghancurkan masa depan generasi bangsa.  Apalagi,  sasaran utama dua penyakit yang menghebohkan itu, adalah generasi muda, usia  produktif di bawah 25 tahun. Oleh sebab itu harus segera dilakukan berbagai langkah terobosan untuk menanggulangi dua “ hantu “ yang menakutkan itu. Penanggulangan yang hanya dilakukan Pemerintah saja dengan dukungan beberapa organisasi penggerak masa, tentu tidaklah cukup dan akan berakihr dengan kekalahan. Permasalahannya sudah demikian kompleks, sehingga diperlukan kepedulian, kesadaran dan peran nyata setiap anggota masyarakat dan keluarga  Dalam tulisan singkat ini,   setelah pendahuluan akan diketengahkan potensi Narkoba  menjadi bencana nasional, Keterkaitan Narkoba dan HIV/AIDS dan Solusi serta saran untuk menanggulanginya
 II. BENCANA NASIONAL        
           Masalah penggunaan narkotika, psikotropika dan zat-zat adikti, dewasa ini memang sudah begitu luas merasuk ke berbagai kalangan dalam masyarakat. Kalangan muda hingga dewasa, strata ekonomi lemah hingga menengah ke atas dan bahkan melibatkan juga kalangan tertentu yang logikanya tak terlibat barang kharam ini seperti aparat keamanan, pelajar SD, dan pondok Pesantern.
           Sebab itu, Presiden kita KH. DR. Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, beberapa waktu lalu menegaskan bahwa selama ini Narkoba sudah menjadi bencana nasional. Sudah banyak yang mengaku terkena  Narkoba bahkan sudah bukan rahasia umum lagi bahwa aparat pemerintah terlibat dalam pengedaran dan pemakaian Narkoba. “Masalah Narkoba tidak bisa tidak, harus diatasi dengan cara yang keras. Pemberantasannya harus dilakukan dengan pendekatan institusional dimana lembaga-lembaga yang menangani masalah-masalah itu harus bertindak keras disamping tindakan penginsyafan”, tegas Presiden ( Solo Pos,13/5 ).
           Untuk penegakan hukum di negeri ini, memang masih sangat memprihatinkan. Untuk kasus besar seperti Narkoba yang sudah sangat meresahkan itu, ternyata selama 15 tahun terakhir ini,  baru pertama kali Pengadilan Negeri ( PN ) di Indonesia yaitu PN Tangerang yang berani menjatuhkan hukuman mati terhadap tiga WNI dalam kasus narkoba. Sedangkan PN lain belum ada yang berani. Sebab itu, wajar bila dalam sebuah seminar  yang bertajuk  Sengsara Membawa Nikmat”  di UNS baru-baru ini, menyimpulkan bahwa pengedar Narkoba  yang tertangkap selama ini  sebanarnya hanya kelas teri. Sedang sang “ juragan”  seolah –olah tak tersentuh sama sekali oleh tangan-tangan hukum.
          Tidak tegasnya  sebagian besar penegak hukum seperti inilah, yang  menjadi salah satu  penyebab utama begitu maraknya peredaran dan perdagangan Narkoba di Tanah Air.  Akhirnya  banyak orang yang  tergiur menekuni bisnis Narkoba, tanpa peduli  akan kelangsungan hidup generasi muda, keluarga dan bangsa ini.
           Bagi pengedar yang sudah kerasukan “ setan “ , tak kenal khalal dan kharam,    yang penting memperoleh uang banyak.  Bisa dibayangkan besarnya omset perdagangan  ilegal Narkoba di tanah air. Pecandu yang berjumlah  sekitar 2 ( dua ) juta, setiap hari setidaknya  mengeluarkan uang Rp 200.000,- untuk mengkonsumsi Narkoba.  Secara kasar dapat dihitung omset perdagangan barang kharam ini, paling sedikit tiap hari mencapai Rp 400 miliar.
          Lalu mengapa para pecandu rela mengorbankan uang sebanyak itu? Menurut pakar Narkoba dr. Yusvick M Hadin, Narkoba bekerja pada syaraf pusat sehingga dapat menimbulkan gangguan mental dari yang ringan hingga berat, bergantung tahapan  ketergantungan si pecandu. Ada lima tahapan ketergantungan. Pertama, adalah tahap coba-coba. Kedua, tahap rekreasional misalnya menjadikan Narkoba sebagai “ menu “ wajib pada
sebuah kegiatqan pesta. Yang ke tiga, tahap okupasional. Pada tahap ini telah tampak adanya ketergantungan psikologis misalnya seorang penyanyi yang jika dia tidak menggunakan Narkoba, maka rasa percaya dirinya akan menjadi rendah atau bahkan hilang, ketika dia harus pentas panggung.
           Sedang tahap ke empat adalah tahap adiksi atau tahap ketergantungan. Dalam hal ini, ada dua jenis ketergantungan yaitu ketergantungan psikologis dan ketergantungan fisiologis. Ketergantungan psikologis yaitu toleransi untuk mendapatkan efek Narkoba yang sama dari waktu ke waktu, maka akan diperlukan dosis yang semakin besar. Sementara itu ketergantungan fisiologis adalah ketergantungan terhadap Narkoba di mana apabila tidak mengkonsumsi Narkoba, maka otaknya akan “ nagih “ dan akan menimbulkan gejala-gejala tidak enak pada seluruh tubuh atau yang biasa dikenal dengan “sakaw”. Tahap terakhir yaitu tahap obsesif. Pada tingkatan ini, pikiran pengguna hanya tertuju pada bagaimana cara mendapatkan Narkoba. Baik itu melalui tindak kriminal atau pun menjual diri.
          Atas dasar tahapan ketergantungan di atas, maka tidak mengherankan bila belakangan ini, melalui berbagai mass media diketahui banyak peristiwa yang cukup mencengangkan, sekaligus memprihatinkan. Seperti  diberitakan  bahwa banyak orang tua sekarang yang terkejut dan tidak menduga sama sekali bila putra kesayanganya terlibat  Narkoba. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh LSM Solidaritas Moral Anti Narkoba, Bandung , ternyata menyebutkan bahwa sebagian besar orang tua (75,6 % ) tidak tahu sama sekali bahwa anak-anaknya atau anggota keluarga lain  telah menjadi
pengguna Narkoba ( Kompas,17/4).
          Kejadian lain, misalnya  kasus yang menimpa  sebuah keluarga dimana suami dan anaknya telah menjadi pecandu  Narkoba  sehingga keharmonisan keluarga telah hilang sama sekali,hartanya ludes untuk biaya pengobatan yang tak kunjung menampakan hasil. Ada pula pengusaha sukses, setelah menjadi pecandu Narkoba  kemudian keluarganya menjadi porak-poranda, sang suami lebih senang seks bebas dengan wanita lain ( the other women ) , sang istri tak mau kalah pula menggandrungi pria lain ( the other man )dan anak-anak mereka berantakan.
           Masih banyak lagi cerita-cerita nyata seputar dampak negatif Narkoba. Bahkan ada kejadian yang tak masuk akal dapat terjadi, misalnya diberitakan, bagaimana seorang anak bisa menghiasi pipinya dengan empat buah peniti yang terpasang berderet. Sedang anak lainnya asyik menyuntikkan putauw ke matanya setelah mencampurnya dengan air kolam ikan di halaman tempat mereka duduk-duduk ( Solo Pos,3/4).

III.GUNUNG ES

         Narkoba yang makin me-wabah tersebut, dapat dipastikan akan meningkatkan penyakit sosial lain yang tidak kalah menakutkannya  yaitu HIV/AIDS. Apalagi penyakit ini, sebagian besar ( 90 % ) ditularkan melalui hubungan seks bebas, yang sangat “ akrab “ dengan kehidupan keluarga modern dan para pecandu            Narkoba.  Sedang sisanya ( 10 % ) menular lewat alat tusuk/suntikan ( parenteral ) dan  dari ibu hamil pengidap HIV kepada bayinya ( perinatal ).
        Virus HIV ( Human Immuno Deficiency Virus ) tidak dapat ditularkan melalui kontak sosial biasa seperti berjabat tangan, berpelukan, bepergian dalam satu kendaraan, berenang bersama, memakai alat makan-minum, toilet, telpon yang sama dengan pengidap HIV. Tidak ditularkan pula dengan keringat, air mata, serangga ( gigitanya ), atau gigitan nyamuk.
        Lalu mengapa  HIV/AIDS menakutkan ? Pertama, sampai saat ini obat penyembuh AIDS belum ada.  Sehingga orang yang terkena infeksi/terjangkit HIV akan meninggal karena AIDS. Vaksinasi untuk menjadikan orang kebal terhadap HIV/AIDS sampai  sekarang juga belum ditemukan. Ke dua, masa inkubasi yang lama, antara 2- 15 tahun. Dengan begitu, orang yang mengidap HIV pada tahap awalnya akan tetap sehat seperti biasa. Tapi virus HIV akan terus menggerogoti ketahanan tubuh penderita. Serangan virus ini langsung  ke lituposit A yaitu bagian dari sel darah putih yang bertugas untuk menjaga ketahanan tubuh, sehingga tanpa “ bantuan “ yang menguatkan fisik dan mental,  orang hidup dengan HIV ( Odha)  ini segera menjadi penderita AIDS dan sebagian cepat meninggal.
      Kasus AIDS di Negara kita yang pertama ditemukan  tahun 1987, di Bali. Enam tahun kemudian, berkembang menjadi 137 penderita AIDS dan 188 HIV. Tahun 1994 dilaporkan lagi AIDS 67 dan HIV 208. Tahun 1995, AIDS 87 dan HIV227. Tahun 1996 AIDS 119 dan HIV 382. Tahun 1997 AIDS 153, HIV 466 dan  sampai Oktober 1998 lalu tercatat AIDS 221, HIV 221.
          Namun seperti halnya Narkoba,  jumlah penderita HIV/AIDS yang tercatat tersebut tidak termasuk, “ street junkies “ ( penderita tak terdata ). Angka sesungguhnya dapat 100 kali lebih banyak, bagai “gunung es”  yang terlihat hanya ice tipe atau pucuk dari gunung yang sebenarnya sangat besar.
          Suatu epidemi AIDS besar seperti yang sampai sekarang sedang melanda negera tetangga seperti Thailand, India dan Myanmar, bila kurang diantisipasi secara cepat, sangat mungkin terjadi di Indonesia. Selain Kondisi geografik negara kita yang sudah terkepung oleh negara-negara tetangga yang memiliki prevalensi HIV lebih tinggi dan di era globalisasi ini Ohida bebas mondar-mandir ke tanah air, juga  sumber HIV di dalam negeri sendiri telah menyebar luas ke beberapa propinsi. Makin meluasnya penggunaan Narkoba juga akan ikut menambah jumlah kasus HIV/AIDS di tanah air.
 
IV. KELUARGA SEJAHTERA
         Keterkaitan Narkoba dan HIV/AIDS tersebut,  tentulah makin menambah rumit cara penanggulangannya. Mustakhil hanya dapat ditanggulangi melalui jalur kesehatan saja. Pemerintah sendirian saja, juga tidak akan mampu mengatasi. Persoalanya sudah begitu luas dan tak bisa lepas dari masalah  agama, sosial, budaya, ekonomi, dan politik. 
         Betapa pun sulit dan rumitnya menanggulangi persoalan Narkoba dan HIV/AIDS, prioritas tetap harus dilakukan untuk membasminya. Untuk menanggulanginya, selain per;lu ditegakan supremasi hukum tentu harus  melihat akar permasalahan yang sebenarnya yaitu kemiskinan keluarga dalam arti luas. Meliputi kemiskinan materi, kemiskinan iman dan kemiskinan informasi.
         Berbagai studi membuktikan, merebaknya WTS, anak jalanan dan rendahnya kondisi sosial ekonomi---yang antara lain ditandai dengan banyaknya keluarga miskin atau pra sejahtera dan sejahtera satu alasan ekonomi---terbukti merupakan “ kawan “ dekat  penyakit sosial seperti Narkoba dan HIV/AIDS. Krisis yang melanda Indonesia, kini sudah sampai tahap sangat serius, sehingga setiap bayii lahir pun, sudah harus menanggung hutang. Sebab itu, selagi krisis yang mendera bangsa ini belum berakhir, jangan harap dua penyakit yang menghancurkan tadi akan berakhir.
        Kemiskinan Iman, juga merupakan faktor tak kalah pentingya dan bahkan menjadi penentu berhasil tidaknya bangsa ini keluar dari malapetaka Narkoba dan AIDS. Tidak ada satu ajaran agama pun, yang membolehkan penganutnya mengkonsumsi Narkoba dan melakukan seks bebas yang menyebarkan virus HIV/AIDS. Sudah saatnya, di Instansi pemerintah, swasta, Sekolah dan tempat lain secara periodik diselenggarakan siraman rokhani, untuk menyuburkan iman.
        Demikian juga setiap keluarga sebagai unit terkecil masyarakat, hendaknya dapat memberikan porsi besar bidang agama, betapa pun sibuknya orang tua. Orang tua, hendaknya memberikan teladan dan perilaku yang tidak menyimpang dari ajaran agama. Harus disadari bahwa hanya dalam keluarga sejahtera, akan lahir manusia   beriman yang mampu membentengi dirinya dari godaan Narkoba dan HIV/AIDS. Yang dimaksud Keluarga Sejahtera di sini---sesuai dengan UU N0.10/1992 Tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Sejahtera-- adalah keluarga yang diibentuk berdasarkan atas perkawinan yang sah, mampu memenuhi kebutuhan hidup spiritual dan materiil yang layak, bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Ersa, memiliki hubungan yang serasi, selaras, dan seimbang antar anggota dan antara keluarga dengan masyarakat dan lingkungan.
            Kemiskinan informasi tentang Narkoba dan HIV/AIDS, agaknya perlu mendapat perhatian serius. Berdasarkan pengalaman di banyak negara maju,  berkurangnya  wabah Narkoba dan HIV/AIDS, karena informasi besar-besaran tentang penyakit itu. Untuk menghindari bencana nasional akibat Narkoba dan HIV/AIDS,  sudah waktunya baik  melalui media massa maupun penyuluhan-penyuluhan  kepada keluarga dan masyarakat luas harus lebih digiatkan lagi.

III. PENUTUP
            Persoalan Narkoba dan HIV/AIDS di Indonesia sudah sampai pada tahap sangat serius.  Untuk itu, pemberian informasi besar-besaran dengan memanfaatkan semua media, agaknya  perlu dilakukan segera oleh pemerintah bersama berbagai pihak termasuk organisasi sosial kemasyarakatan dan LSOM.
           Namun upaya KIE ( Komunikasi, Informasi, dan Edukasi ) saja tentu tidak cukup, tanpa adanya supremasi hukum dengan menindak mereka yang terlibat Narkoba sekaligus melindungi hak-hak penderita HIV/AIDS. Lebih dari itu, yang sangat mutlak harus mengantisipasi dengan segera yaitu semua anggota keluarga,  orang tua dan anak  untuk menghindari dan membuang jauh-jauh penyalahgunaan Narkoba dan menghindari perilaku yang dapat  menjerumuskan keluarga tertular HIV/AIDS.       
Daftar Bacaan
 
 1.BKKBN Opini Nomor 2-Tahun 1999, Pendapat Umum tentang keluarga             berencana, keluarga sejahtera, dan kependudukan. Jakarta : BKKBN

 2.____________, UU. N0.10/1992 Tentang Perkembangan Kependudukan Dan     Pembangunan Keluarga Sejahtera. Jakarta : BKKBN

 3._____________, Pembangunan Keluarga Sejahtera Di Indonesia. Jakarta : 1994

 4.______________, Pemberdayaan Keluarga Menuju Sumber Daya Manusia Potensial. Jakarta : 1999

 5.______________, Bina Pengetahuan Gerakan KB  dan KS Nasional N0. 03/1994/1995. Jakarta : 1994

6. Bapak-Ibu, Selamatkanlah Anak-Anakmu, Solo Pos, 3  April 2000


 7. Begitu Kena, Langsung One Way Ticket Ke Neraka, Solo Pos,12 Mei 2000

8. Gus Dur : Masalah Narkoba Harus diatasi secara keras, Solo Pos, 13 Mei 2000
 9. Narkoba Dapat Menyebabkan Gila, Solo Pos, 14 Mei 2000

 10. 80,2 Persen Pengguna Narkotika Kena Infeksi Virus Hepatitis C, Kompas, 15    April 2000.

 11. 74 persen Pengguna Narkoba di Bandung Laki-Laki, Kompas 17 April 2000

 12. TO. Ihromi ( Penyunting), Bunga Rampai Sosiologi Keluarga. Jakarta :  Yayasan Obor Indonesia, 1999.





[1] Penulis, Mantan Pimpinan Umum Majalah Pabelan Solo. Saat ini Mahasiswa S2-PKLH UNS dan Staff BKKBN Solo

Tidak ada komentar:

Posting Komentar