Sabtu, 10 Desember 2011

MENGHINDARI EKSES NEGATIF KB


Hari Keluarga Nasional Ke-VIII, 29 Juni :
MENGHINDARI EKSES NEGATIF  PROGRAM KB
                                                   Oleh Sutarmo
KEBERHASILAN program KB selama ini, memang tidak diragukan lagi. Sejak dicanangkan program ini pada 1970, hingga kini telah berhasil  menurunkan angka fertilitas total ( TFR/Total Fertility Rate ) dari  5,61 per wanita menjadi 2,78 per wanita. Turunnya angka fertilitas ini, terbukti memberikan andil besar terhadap penurunan laju pertumbuhan penduduk  menjadi 1, 35 persen ( SP, 2000 ).
             Masih banyak lagi prestasi KB  yang dikoordinir BKKBN ini. Tapi, kalau           “ diperas “ menjadi satu,  keberhasilan program KB nasional yang utama adalah kemampuan merubah sikap mental dan perilaku bagian terbesar bangsa Indonesia. Dari   budaya keluarga besar menjadi keluarga kecil sebagai prasyarat membangun keluarga  berkualitas, keluarga yang bahagia dan sejahtera.
             Karena itu, pandangan “ the more the merrier “ atau tiap anak akan membawa rezekinya sendiri; banyak anak banyak rezeki, dan banyak lagi pandangan pro- natalis semacam ini,  sudah banyak ditinggalkan masyarakat. Orang tua sekarang, tidak lagi mendorong putra-putrinya untuk menikah pada usia yang terlalu muda atau mempunyai banyak anak.
            Untuk melakukan perkawinan diperlukan persiapan mental, sosial dan ekonomi yang cukup. Banyak anak, justru banyak masalah. Lebih baik anak sedikit tapi berkualitas, ketimbang banyak anak membawa masalah. Anak itu, titipan Tuhan yang harus dididik sebaik-baiknya. Inilah pandangan yang sekarang berkembang dalam masyarakat dan keluarga  kita.
Melanggar Hak Individu
            Namun dibalik keberhasilan program KB nasional tersebut,  ada pula ekses negatifnya yang harus dihindari dan sekaligus menjadi tantangan program KB ke depan. Sebagai orang yang banyak menggeluti soal KB di lapangan,  nampaknya terdapat paling sedikit  lima ekses nagatif  dalam pelaksanaan KB selama ini.
             Pertama, kurangnya perhatian terhadap hak-hak dasar penduduk. Kritikan semacam ini,  sebenarnya mencuat sudah cukup lama bukan hanya di dalam negeri tapi juga sampai kalangan internasional. G.J. Hugo dkk, The Demographic Dimensien in Indonesian Development ( 1987 )  misalnya, mengungkapkan kritikan pelaksanaan KB di Indonesia dengan model safari atau safari senyum dengan sistem target.
            Dengan sistem target seperti itu, katanya, dapat mengubah orientasi yang bersifat melayani ke arah pemaksaan. Penduduk umumnya lebih banyak dipaksa dibanding diajak untuk memilih mengikuti program KB. Sehingga muncul kesan bahwa program KB di beberapa daerah lebih sebagai kegiatan pemaksaan penduduk untuk memakai alat kontrasepsi. Eksistensi hak-hak individu untuk mengatur sendiri kegiatan reproduksinya terabaikan.
           Kedua,  pelaksanaan KB kurang memperhatikan kesehatan ibu dan anak. Kesan ini muncul ketika BKKBN masih menerapkan sistim target dalam pelaksanaan program KB. Akibat fokusnya yang terlalu berat pada pencapaian target, maka wajar saja aspek kualitas pelayanan program KB menjadi kurang diperhatikan. Kesehatan ibu dan anak,  belum menjadi bagian integral dari pelayanan program KB. Ketiga, kurang memperhatikan aspek gender. Sasaran program selama ini selalu penduduk perempuan, sementara penduduk laki-laki kurang dijadikan prioritas. Padahal keberhasilan program KB juga memerlukan keterlibatan aktif penduduk laki-laki.  Akibatnya urusan pengaturan kelahiran ( fertilitas ) sering disempitkan menjadi urusan kaum perempuan tanpa menuntut tanggungjawab penuh penduduk laki-laki. Lihat saja,  penduduk laki-laki sampai sekarang pun sangat sedikit yang menjadi kader KB. Laki-laki yang menjadi akseptor KB, juga amat sedikit, secara nasional  hanya sekitar 3 persen.
           Ke empat, kurang mengindahkan sisi remaja dalam program KB. Berbagai penelitian yang dilakukan di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya,  Medan, Yogya, Bandung, Menado, Semarang dan di kota lainnya, ternyata menunjukan hasil yang  kurang lebih sama : fenomena kehamilan dan penyalahgunaan kontrasepsi di kalangan remaja dianggap hal yang lumrah terjadi. Meski ekses negatif itu bukan sepenuhnya akibat kampanye KB yang begitu meluas, namun fenomena itu sering dialamatkan ke BKKBN.
         Terakhir, ada kesan bahwa program KB kurang memfokus. Sejak dicanangkan tahun 1970, program KB menyusup ke mana-mana. Hampir semua departemen dimasuki KB. Juga, berbagai organisasi masyarakat ( LSOM ) tak luput jadi sasaran petugas KB. Jajaran BKKBN, tidak hanya berurusan dengan petugas medis. Tapi juga dengan petugas Bank, Posindo, pegawai pertanian, koperasi, perdagangan dan sebagainya. Lalu,  banyak masyarakat yang bertanya-tanya : selain ngurusi KB, sebenarnya program apa saja  yang “ khas “  milik BKKBN ?

Lebih Manusiawi
          Manfaat yang diperoleh program KB, memang jauh lebih besar dibanding ekses negatif yang mengikutinya. Kendati demikian,  ekses negatif pengendalian fertilitas sebagaimana disebut di atas, sesungguhnya sudah dan akan terus  diperbaiki, dan ditanggulangi.
          Dalam berbagai kesempatan,  Menneg PP dan Kepala BKKBN Khofifah Indar Parawansa  menegaskan,  bahwa salah satu prioritas program KB sekarang ini yaitu peningkatan kualitas pelayanan KB dan kesehatan reproduksi. Metode kontrasepsi yang cocok untuk setiap suami instri dan individu sangat bervariasi tergantung umur, paritas, besarnya keluarga, dan faktor lainnya.
             “ Oleh sebab itu, kebijaksanaan umumnya adalah tidak ada satupun metode kontrasepsi yang ideal untuk semua orang. Sehingga setiap calon akseptor berhak memilih metode yang dianggap cocok, asalkan tidak bertentangan dengan kondisi kesehatannnya “,  jelas Khofifah Indar Parawansa.
              Hakekat program KB,  sejak awal  memang  tidak mengenal adanya pemaksaan terhadap pemakaian kontrasepsi.. Sebab, pemaksaan bertentangan dengan UU RI N0.10/1992 Tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Sejahtera. Dalam pasal 17 UU itu, antara lain disebutkan bahwa pengaturan kelahiran diselenggarakan dengan tata cara yang berdaya guna dan berhasil guna, serta dapat diterima oleh pasangan suami istri sesuai dengan pilihannya.
               Disebutkan pula bahwa  penyelenggaraan pengaturan kelahiran dilakukan dengan cara yang  dapat dipertanggungjawabkan. Baik dari segi kesehatan, etik, maupun agama yang dianut penduduk yang bersangkutan. Jadi, kalau masih muncul kritikan adanya unsur pemaksaan,  melanggar etika dalam penyelenggaraan program KB, tentunya tidak sepenuhnya benar. Walau begitu, kita memang harus tetap waspada agar KB tetap dilaksanakan secara lebih manusiawi,  lebih persuasif, dan lebih berkualitas.
               Dalam paradigmanya yang baru, program KB dilaksanakan dengan visi            :”Keluarga Berkualitas 2015”. Kampanye Keluarga Berkualitas ini, secara nasional dimulai 29 Juni ini, bertepatan dengan peringatan Hari Keluarga Nasional Ke-VIII. Acuan pokok visi baru program KB itu adalah, kesepakatan dalam International Conference on Population and Development ( ICPD)  di Cairo 1994 dan Beijing Platform for Action 1995 serta GBHN 1999 . Program KB kemudian dikembangkan  menjadi Program Kesehatan Reproduksi ( Reproductive Health  Program ) yang bertujuan bukan hanya untuk mengendalikan kelahiran, tapi lebih difokuskan untuk meningkatkan kualitas penduduk, mutu SDM dan mengurangi kematinan dalam rangka mencapai keluarga berkualitas.
                Kebijakan yang menyangkut peningkatan kualitas,  tentu akan lebih memperhatikan dengan saksama masalah kesehatan ibu dan anak, pemberian informasi seluas-luasnya tentang kesehatan reproduksi untuk pria dan wanita  secara seimbang. Jadi, program KB ke depan,  tidak hanya difokuskan pada wanita sebagaimana dilaksanakan  sebelum ini. Peningkatan kualitas pelayanan juga akan ditujukan pada kelompok-kelompok remaja, pria dan usia pasca reproduksi .
             Hal ini didasari atas situasi dimana remaja memiliki permasalahan reproduksi yang sangat komplek,  yang tidak mungkin dipecahkan tanpa adanya kebijakan dan program secara khusus. Jumlah penduduk remaja semakin meningkat sejalan dengan masalah mereka yang timbul,  karena semakin luasnya dampak globalisasi dalam kehidupan sosial dan budaya.
             Adanya kecenderungan peningkatan usia kawin pertama memerlukan kebijakan untuk memperkokoh moral, mental, kejiwaan, dan perlindungan kesehatan bagi remaja agar tidak terpengaruh buruk dalam kehidupannya.   Beberapa masalah penyimpangan perilaku seksual menimbulkan komplikasi berupa kehamilan diluar nikah, penyakit seksual menular, dan penyakit HIV/AIDS. Sebab itu, diperlukan program prioritas yang mempromosikan kesehatan reproduksi remaja agar masalah-masalah tersebut tidak semakin berat.
            Selain memberikan prioritas pada kualitas pelayanan dan kesehatan reproduksi, ke depan program KB juga dituntut untuk tetap memberikan jaminan pelayanan bagi keluarga sangat miskin dan miskin yang jumlahnya kian membengkak, tetap membantu mereka yang mampu agar biaya pelayanan tidak terlalu tinggi,  dan meneruskan usaha-usaha untuk membangun keluarga yang berkualitas, keluarga yang bahagia dan sejahtera.
            Untuk mencapai sasaran program, tentu pemerintah dalam hal ini BKKBN tidak mungkin berhasil tanpa kerja sama dan bantuan semua komponen bangsa.  Sebab itu, pada era otonomi daerah sekarang ini, peran pimpinan daerah menjadi sangat menentukan suksesnya program KB nasional. Untuk itu, integrasi program KB dengan sektor pembangunan daerah harus tetap dijalankan. Kecuali itu, perlu terus mendorong peran aktif masyarakat dan  sektor swasta   untuk bersatu - padu mewujudkan keluarga berkualitas.( Penulis, Mahasiswa Program Pasca Sarjana PKLH UNS dan Staff BKKBN Solo )
            
                                  
            
          
Daftar Bacaan
 
 1.BKKBN Opini Nomor 2-Tahun 1999, Pendapat Umum tentang keluarga             berencana, keluarga sejahtera, dan kependudukan. Jakarta : BKKBN

 2.____________, UU. N0.10/1992 Tentang Perkembangan Kependudukan Dan     Pembangunan Keluarga Sejahtera. Jakarta : BKKBN

 3._____________, PP. N0. 21/1994 Tentang Penyelenggaraan Pembangunan Keluarga Sejahtera Di Indonesia. Jakarta : 1994

 4.______________, Pemberdayaan Keluarga Menuju Sumber Daya Manusia Potensial. Jakarta : 1999

 5.______________, 2001. Kebijakan Teknis KB dan Kesehatan Reproduksi. Jakarta :  2001.

6. Fawzia Aswin Hadis, 2000. Kesiapan Remaja dalam Kesehatan Reproduksi. Jakarta : BKKBN

7. Khofifah Indar Parawansa, 2000. Pokok-Pokok Pikiran Kebijakan dan Strategi Era Baru Gerakan KB Nasional. Jakarta : Warta Demografi UI, Tahun Ke-30,N0.1, 2000









Tidak ada komentar:

Posting Komentar