Sabtu, 10 Desember 2011

BILA SUAMI IKUT KB


MENINGKATKAN PERAN SUAMI  DALAM PROGRAM KB
Oleh : Sutarmo


 

DALAM  acara Temu Kerja Paguyuban Prio Utomo se-Jateng di Gedung Wanita Surakarta, Selasa (8/2), Menneg Pemberdayaan Perempuan/ Kepala BKKBN Dra.Hj. Khofifah Indar Parawansa mengemukakan perlunya peran suami dalam program KB ditingkatkan lagi. Sebab, sejak  program KB digalakan pemerintah tahun 1970, hingga sekarang ternyata  pengguna kontrasepsi sebagian besar  adalah wanita. Sehingga, seolah-olah urusan KB hanya menjadi tugas istri. Padahal, seharusnya tanggung  jawab bersama oleh pasangan suami- istri.
               Pernyataan itu, meski bukan pertama kali kita dengar, agaknya patut  untuk direnungkan kita semua. Benarkah peran suami dalam program KB rendah ? Jawabanya,  tentu macam-macam. Bisa benar,  dapat pula salah atau sebagian benar dan sebagian lagi keliru. Tergantung dari sudut mana  kita melihatnya. Kalau dilihat dari partisipasi  penggunaan kontrasepsi selama ini, baik secara nasional maupun regional,  wanita memang lebih mendominasi dalam pemakaian kontrasepsi.
               Di Propinsi Jawa Tengah misalnya,  pada pertengahan tahun lalu, tingkat kesertaan ber-KB ( Contraceptive Prevalence Rate/CPR ) sebanyak  4.450.990 atau 82 persen dari total PUS ( Pasangan Usia Subur )  = 5.428.021.  Pengguna kontrasepsi wanita ( IUD, Implant, MOW, Suntik, Pil dan OV ) sebanyak 4.318.053 atau 97 persen. Sedangkan pemakai kontrasepsi  pria ( MOP dan Kondom ) = 132.937  atau 3 persen
( Umpan Balik,BKKBN Prop. Jateng, 1999). Jadi, dilihat dari data tersebut, memang partisipasi pria sangat sedikit dibanding wanita.
Kambing Hitam
              Tatkala belum ditemukan kontrasepsi modern seperti Pil, Suntik KB,IUD, dan banyak lagi kontrasepsi  yang diperuntukan wanita, pengguna kontrasepsi justru didominasi  pria. Cara KB yang ada, waktu itu  hanya kondom dan senggama terputus atau azel ( coitus intereptus), sehingga praktis suami yang lebih berperan. Baru setelah perang dunia ke dua, berbagai jenis kontrasepsi  modern untuk wanita berhasil dikembangkan dan mengalami kemajuan amat pesat. Sejak itu, terjadi perubahan radikal dimana wanita lebih berperan dalam penggunaan kontrasepsi sampai sekarang.
          Keterbatasan jenis kontrasepsi pria, sering dijadikan kambing hitam rendahnya  pria ikut KB. Selain kondom dan senggama terputus, kini memang telah dikembangkan cara KB vasektomi ( Medis Operatif Pria/MOP). Namun,  cara  ini dalam pelaksanaanya masih menghadapi berbagai kendala terutama segi budaya dan agama. Sehingga, meski telah ditemukan methode “ canggih “ seperti  teknik “ U “:yang ditemukan dr. Untung, teknik operasi tanpa pisau yang dapat direkanalisasi dan sebagainya, namun cara ini tetap saja belum mampu dijadikan pilihan yang dapat diandalkan bagi pria. Lagi pula MOP belum menjadi program resmi pemerintah,  sehingga wajar bila peserta MOP masih sedikit dibanding cara KB lain.
           Usaha mencari cara KB pria yang efektif, sampai sekarang terus dilakukan. Dr. Judith White dari Universitas California misalnya,  pernah mengumumkan protein yang disebut PH-30  yang diharapkan dapat membantu menemukan kontrasepsi yang efektif bagi pria. BKKBN bekerja sama dengan Pusat Penelitian Reproduksi berbagai Perguruan Tinggi, beberapa waktu lalu juga telah menemukan hasil penelitian yang menyebutkan, bahwa kombinasi Depo medroxy progesteron acetate (DMPA) dan hormon Testosteron enanthate (TE ) dapat digunakan sebagai kontrasepsi suntik bagi pria. Tapi, hasil-hasil penelitian itu (  dan masih banyak lagi penelitian sejenis ) ternyata sampai sekarang belum dapat  dimanfaatkan pria sebagai alat KB yang efektif.
               Menurut Direktur Riset biomedis dari Population Council yang berpusat di New York, Dr. Weyne Bardin, untuk menemukan  alat KB pria memang tidak mudah. “Hanya memerlukan satu dari puluhan juta sperma untuk membuahi sebuah telur. Wanita hanya  memproduksi satu telur setiap bulan. Dengan demikian,  sudah pasti lebih mudah untuk menemukan cara mengontrol satu telur daripada jutaan sperma,” ujar  Dr. Wayne Bardin, membandingkan tingkat kesulitan dan kemudahan antara  pil pria dengan pil untuk  wanita.
            Walaupun dihadapkan pada banyak tantangan, Population Council tetap berupaya keras melakukan penelitian-penelitian untuk menemukan obat kontrasepsi pria. Badan ini sedang berupaya menemukan obat yang bersifat hormon dan dijadikan susuk KB ( implant ) yang di pasang  di bawah kulit pria. Metode ini, mirip dengan implant dengan enam biji yang sudah banyak dipakai wanita Indonesia atau implanon yang berisi satu kapsul---jenis kontrasepsi yang belakangan ini sangat digemari wanita, tapi sayang kini sulit untuk mendapatkanya.
Ditentang Istri
              Faktor fisiologis pria, juga menjadi kendala bagi pria untuk KB. Sudah menjadi kodrat Tuhan bahwa yang berkewajiban hamil dan melahirkan anak bukan suami melainkan istri( wanita ). Sehingga yang paling tahu betapa susah dan repotnya mengandung dan melahirkan anak, tentu sang istri. Sebab itu,  justru  tidak sedikit wanita  yang beranggapan persoalan pengaturan kelahiran dan KB itu urusannya kaum hawa.
              Banyak juga  wanita yang tidak setuju bila suami  ikut KB, karena alasan- alasan tertentu. Kondom dianggap mengganggu dan mengurangi kenikmatan, sebab tidak ada persentuhan langsung. Itulah sebabnya,  banyak pria yang  sebenarnya cocok pakai kondom justru ditentang istri. Sedangkan cara vasektomi ( MOP ), istri juga sering tidak ‘sreg’ karena takut sang suami bebas punya WIL ( wanita idaman lain ). Ada juga istri  takut gairah seks suami berkurang, walaupun secara ilmiah tidak terbukti.
              Keengganan sebagian istri bila suami ikut KB, pernah dibuktikan dalam suatu penelitian di Jakarta. Hasil penelitian itu menyebutkan bahwa 63 persen wanita setuju suami ikut KB, sementara 37 persen tidak setuju. Fenomena yang menarik, walaupun yang tidak setuju lebih sedikit, tetapi ternyata cukup banyak wanita yang tidak setuju suami ber-KB.  Karena itu, ketika  responden ditanyai siapa yang seharusnya ber-KB ? Hanya 6,3 persen yang secara tegas menyatakan bahwa suaminyalah yang perlu ikut KB. Sisanya menyatakan bahwa yang ber-KB berganti-ganti ( 18 persen ), tidak tahu ( 10,9 persen ) dan terbanyak menyatakan bahwa isterilah yang harus ikut KB.
Tanggung Jawab Bersama
               Kontrasepsi  dalam pelaksanaan program KB memang penting, tetapi harus disadari kita semua bahwa kontrasepsi bukanlah  tujuan digalakannya program KB. Sebagaimana  ditegaskan dalam UU N0. 10/1992 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Sejahtera,  KB adalah upaya peningkatan kepedulian dan peran serta masyarakat melalui pendewasaan usia kawin,  pengaturan kelahiran,  pembinaan ketahanan keluarga, peningkatan kesejahteraan keluarga untuk mewujudkan keluarga kecil, bahagia dan sejahtera.
                Jadi,  yang terpenting adalah   bagaimana agar keluarga dapat mencapai taraf hidup bahagia dan sejahtera. Yang dimaksud keluarga sejahtera di sini adalah keluarga yang dibentuk berdasarkan  atas perkawinan yang sah, mampu memenuhi kbutuhan hidup spiritual dan materiil yang layak, bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, memiliki hubungan yang serasi, selaras, dan seimbang antar anggota dan antara keluarga dengan masyarakat dan lingkungan.  Sedangkan kontrasepsi merupakan sarana penting untuk mencapai tujuan KB tersebut.  Sesuai dengan UU N0. 10 tadi, dalam hal penggunaan kontrasepsi, suami dan istri mempunyai hak dan kewajiban yang sama serta kedudukan yang sederajat dalam menentukan cara pengaturan kelahiran.
                 Dalam hubunganya dengan peningkatan peran suami dalam program KB, setidaknya  ada  tiga faktor penting yang  harus diperhatikan  yaitu, pertama  perlu peningkatan KIE ( Komunikasi Informasi dan Edukasi ) yang lebih intensif di kalangan pria tentang tanggung jawab bersama dalam pelaksanaan KB. Salah satu kelemahan program KB di Indonesia selama ini adalah minimnya peserta KB pria. Sebab itu, Paguyuban Pria Perkasa atau Pria Utama yang  tumbuh di berbagai daerah dan beranggotakan suami yang telah menjalani vasektomi perlu terus dibina dan dikembangkan. Kegiatan – kegiatan yang dilakukan oleh kelompok ini dapat dijadikan sarana KIE yang ampuh dalam meningkatkan penggunaan kontrasepsi di kalangan pria. Kedua,  perlu terus menerus diteliti dan dikembangkan obat-obatan tradisional khas Indonesia yang dapat dijadikan alat KB pria.  Terbatasnya jenis kontrasepsi bagi pria, tampaknya justru menjadi kendala utama peningkatan partisipasi pria dalam program KB. Ketiga, peningkatan dukungan suami  terhadap istri dalam program KB. Secara struktural dalam kehidupan berkeluarga, suami sebagai kepala rumah tangga. Mengingat kedudukannya ini, maka keberhasilan  mencapai CPR lebih 57 persen di tingkat nasional,  tentu saja atas  partisipasi dan dorongan suami yang mengijinkan istrinya ikut KB. Apabila suami malarang istri memakai kontrasepsi, tentu hasil KB di Indonesia tidak sehebat sekarang.
            Namun, Indonesia yang kini dihuni lebih dari 202 juta jiwa dan sejak tiga tahun lalu diterpa badai krisis yang hingga kini belum pulih,  menjadikan program KB  yang  sudah amat maju itu kini terancam “ gagal “. Kurangnya daya beli masyarakat akibat gejolak krisis telah membawa dampak menurunya KB mandiri. Banyak akseptor KB yang terpaksa membelanjakan dananya untuk membeli beras ketimbang alat kontrasepsi. Kondisi demikian, bila tidak segera diantisipasi, tentu akan makin menjauhkan kita dari cita-cita mewujudkan keluarga bahagia dan sejahtera. Agar cita-cita membangun keluarga sejahtera dapat segera diwujudkan,  dan  harapan penduduk tumbuh seimbang ( PTS ) pada tahun 2020 lebih cepat tercapai, partisipasi dan dorongan pria dalam pelaksanaan KB sangatlah dibutuhkan( Penulis adalah mahasiswa pasca sarjana PKLH UNS dan staff BKKBN Surakarta ).
               
                   
                      



BILA SUAMI HARUS IKUT KB
Oleh : Sutarmo


 

DALAM  acara Temu Kerja Paguyuban Prio Utomo se-Jateng di Gedung Wanita Surakarta, Selasa (8/2), Menneg Pemberdayaan Perempuan/ Kepala BKKBN Dra.Hj. Khofifah Indar Parawansa mengemukakan perlunya peran suami dalam program KB ditingkatkan lagi. Sebab, sejak  program KB digalakan pemerintah tahun 1970, hingga sekarang ternyata  pengguna kontrasepsi sebagian besar  adalah wanita. Sehingga, seolah-olah urusan KB hanya menjadi tugas istri. Padahal, seharusnya tanggung  jawab bersama oleh pasangan suami- istri.
               Pernyataan itu, meski bukan pertama kali kita dengar, agaknya patut  untuk direnungkan kita semua. Benarkah peran suami dalam program KB rendah ? Jawabanya,  tentu macam-macam. Bisa benar,  dapat pula salah atau sebagian benar dan sebagian lagi keliru. Tergantung dari sudut mana  kita melihatnya. Kalau dilihat dari partisipasi  penggunaan kontrasepsi selama ini, baik secara nasional maupun regional,  wanita memang lebih mendominasi dalam pemakaian kontrasepsi.
               Di Propinsi Jawa Tengah misalnya,  pada pertengahan tahun lalu, tingkat kesertaan ber-KB ( Contraceptive Prevalence Rate/CPR ) sebanyak  4.450.990 atau 82 persen dari total PUS ( Pasangan Usia Subur )  = 5.428.021.  Pengguna kontrasepsi wanita ( IUD, Implant, MOW, Suntik, Pil dan OV ) sebanyak 4.318.053 atau 97 persen. Sedangkan pemakai kontrasepsi  pria ( MOP dan Kondom ) = 132.937  atau 3 persen
( Umpan Balik,BKKBN Prop. Jateng, 1999). Jadi, dilihat dari data tersebut, memang partisipasi pria sangat sedikit dibanding wanita.

Kambing Hitam
              Tatkala belum ditemukan kontrasepsi modern seperti Pil, Suntik KB,IUD, dan banyak lagi kontrasepsi  yang diperuntukan wanita, pengguna kontrasepsi justru didominasi  pria. Cara KB yang ada, waktu itu  hanya kondom dan senggama terputus atau azel ( coitus intereptus), sehingga praktis suami yang lebih berperan. Baru setelah perang dunia ke dua, berbagai jenis kontrasepsi  modern untuk wanita berhasil dikembangkan dan mengalami kemajuan amat pesat. Sejak itu, terjadi perubahan radikal dimana wanita lebih berperan dalam penggunaan kontrasepsi sampai sekarang.
          Keterbatasan jenis kontrasepsi pria, sering dijadikan kambing hitam rendahnya  pria ikut KB. Selain kondom dan senggama terputus, kini memang telah dikembangkan cara KB vasektomi ( Medis Operatif Pria/MOP). Namun,  cara  ini dalam pelaksanaanya masih menghadapi berbagai kendala teruutama segi budaya dan agama. Sehingga, meski telah ditemukan methode “ canggih “ seperti  teknik “ U “:yang ditemukan dr. Untung, teknik operasi tanpa pisau yang dapat direkanalisasi dan sebagainya, namun cara ini tetap saja belum mampu dijadikan pilihan yang dapat diandalkan bagi pria. Lagi pula MOP belum menjadi program resmi pemerintah,  sehingga wajar bila peserta MOP masih sedikit dibanding cara KB lain.
           Usaha mencari cara KB pria yang efektif, sampai sekarang terus dilakukan. Dr. Judith White dari Universitas California misalnya,  pernah mengumumkan protein yang disebut PH-30  yang diharapkan dapat membantu menemukan kontrasepsi yang efektif bagi pria. BKKBN bekerja sama dengan Pusat Penelitian Reproduksi berbagai Perguruan Tinggi, beberapa waktu lalu juga telah menemukan hasil penelitian yang menyebutkan, bahwa kombinasi Depo medroxy progesteron acetate (DMPA) dan hormon Testosteron enanthate (TE ) dapat digunakan sebagai kontrasepsi suntik bagi pria. Tapi, hasil-hasil penelitian itu (  dan masih banyak lagi penelitian sejenis ) ternyata sampai sekarang belum dapat  dimanfaatkan pria sebagai alat KB yang efektif.
               Menurut Direktur Riset biomedis dari Population Council yang berpusat di New York, Dr. Weyne Bardin, untuk menemukan  alat KB pria memang tidak mudah. “Hanya memerlukan satu dari puluhan juta sperma untuk membuahi sebuah telur. Wanita hanya  memproduksi satu telur setiap bulan. Dengan demikian,  sudah pasti lebih mudah untuk menemukan cara mengontrol satu telur daripada jutaan sperma,” ujar  Dr. Wayne Bardin, membandingkan tingkat kesulitan dan kemudahan antara  pil pria dengan pil untuk  wanita.
            Walaupun dihadapkan pada banyak tantangan, Population Council tetap berupaya keras melakukan penelitian-penelitian untuk menemukan obat kontrasepsi pria. Badan ini sedang berupaya menemukan obat yang bersifat hormon dan dijadikan susuk KB ( implant ) yang di pasang  di bawah kulit pria. Metode ini, mirip dengan implant dengan enam biji yang sudah banyak dipakai wanita Indonesia atau implanon yang berisi satu kapsul---jenis kontrasepsi yang belakangan ini sangat digemari wanita, tapi sayang kini sulit untuk mendapatkanya.
Ditentang Istri
              Faktor fisiologis pria, juga menjadi kendala bagi pria untuk KB. Sudah menjadi kodrat Tuhan bahwa yang berkewajiban hamil dan melahirkan anak bukan suami melainkan istri( wanita ). Sehingga yang paling tahu betapa susah dan repotnya mengandung dan melahirkan anak, tentu sang istri. Sebab itu,  justru  tidak sedikit wanita  yang beranggapan persoalan pengaturan kelahiran dan KB itu urusannya kaum hawa.
              Banyak juga  wanita yang tidak setuju bila suami  ikut KB, karena alasan- alasan tertentu. Kondom dianggap mengganggu dan mengurangi kenikmatan, sebab tidak ada persentuhan langsung. Itulah sebabnya,  banyak pria yang  sebenarnya cocok pakai kondom justru ditentang istri. Sedangkan cara vasektomi ( MOP ), istri juga sering tidak ‘sreg’ karena takut sang suami bebas punya WIL ( wanita idaman lain ). Ada juga istri  takut gairah seks suami berkurang, walaupun secara ilmiah tidak terbukti.
              Keengganan sebagian istri bila suami ikut KB, pernah dibuktikan dalam suatu penelitian di Jakarta. Hasil penelitian itu menyebutkan bahwa 63 persen wanita setuju suami ikut KB, sementara 37 persen tidak setuju. Fenomena yang menarik, walaupun yang tidak setuju lebih sedikit, tetapi ternyata cukup banyak wanita yang tidak setuju suami ber-KB.  Karena itu, ketika  responden ditanyai siapa yang seharusnya ber-KB ? Hanya 6,3 persen yang secara tegas menyatakan bahwa suaminyalah yang perlu ikut KB. Sisanya menyatakan bahwa yang ber-KB berganti-ganti ( 18 persen ), tidak tahu ( 10,9 persen ) dan terbanyak menyatakan bahwa isterilah yang harus ikut KB.
Tanggung Jawab Bersama
               Kontrasepsi  dalam pelaksanaan program KB memang penting, tetapi harus disadari kita semua bahwa kontrasepsi bukanlah  tujuan digalakannya program KB. Sebagaimana  ditegaskan dalam UU N0. 10/1992 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Sejahtera,  KB adalah upaya peningkatan kepedulian dan peran serta masyarakat melalui pendewasaan usia kawin,  pengaturan kelahiran,  pembinaan ketahanan keluarga, peningkatan kesejahteraan keluarga untuk mewujudkan keluarga kecil, bahagia dan sejahtera.
                Jadi,  yang terpenting adalah   bagaimana agar keluarga dapat mencapai taraf hidup bahagia dan sejahtera. Yang dimaksud keluarga sejahtera di sini adalah keluarga yang dibentuk berdasarkan  atas perkawinan yang sah, mampu memenuhi kbutuhan hidup spiritual dan materiil yang layak, bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, memiliki hubungan yang serasi, selaras, dan seimbang antar anggota dan antara keluarga dengan masyarakat dan lingkungan.  Sedangkan kontrasepsi merupakan sarana penting untuk mencapai tujuan KB tersebut.  Sesuai dengan UU N0. 10 tadi, dalam hal penggunaan kontrasepsi, suami dan istri mempunyai hak dan kewajiban yang sama serta kedudukan yang sederajat dalam menentukan cara pengaturan kelahiran.
                 Dalam hubunganya dengan peningkatan peran suami dalam program KB, setidaknya  ada  tiga faktor penting yang  harus diperhatikan  yaitu, pertama  perlu peningkatan KIE ( Komunikasi Informasi dan Edukasi ) yang lebih intensif di kalangan pria tentang tanggung jawab bersama dalam pelaksanaan KB. Salah satu kelemahan program KB di Indonesia selama ini adalah minimnya peserta KB pria. Sebab itu, Paguyuban Pria Perkasa atau Pria Utama yang  tumbuh di berbagai daerah dan beranggotakan suami yang telah menjalani vasektomi perlu terus dibina dan dikembangkan. Kegiatan – kegiatan yang dilakukan oleh kelompok ini dapat dijadikan sarana KIE yang ampuh dalam meningkatkan penggunaan kontrasepsi di kalangan pria. Kedua,  perlu terus menerus diteliti dan dikembangkan obat-obatan tradisional khas Indonesia yang dapat dijadikan alat KB pria.  Terbatasnya jenis kontrasepsi bagi pria, tampaknya justru menjadi kendala utama peningkatan partisipasi pria dalam program KB. Ketiga, peningkatan dukungan suami  terhadap istri dalam program KB. Secara struktural dalam kehidupan berkeluarga, suami sebagai kepala rumah tangga. Mengingat kedudukannya ini, maka keberhasilan  mencapai CPR lebih 57 persen di tingkat nasional,  tentu saja atas  partisipasi dan dorongan suami yang mengijinkan istrinya ikut KB. Apabila suami malarang istri memakai kontrasepsi, tentu hasil KB di Indonesia tidak sehebat sekarang.
            Namun, Indonesia yang kini dihuni lebih dari 202 juta jiwa dan sejak tiga tahun lalu diterpa badai krisis yang hingga kini belum pulih,  menjadikan program KB  yang  sudah amat maju itu kini terancam “ gagal “. Kurangnya daya beli masyarakat akibat gejolak krisis telah membawa dampak menurunya KB mandiri. Banyak akseptor KB yang terpaksa membelanjakan dananya untuk membeli beras ketimbang alat kontrasepsi. Kondisi demikian, bila tidak segera diantisipasi, tentu akan makin menjauhkan kita dari cita-cita mewujudkan keluarga bahagia dan sejahtera. Agar cita-cita membangun keluarga sejahtera dapat segera diwujudkan,  dan  harapan penduduk tumbuh seimbang ( PTS ) pada tahun 2020 lebih cepat tercapai, partisipasi dan dorongan pria dalam pelaksanaan KB sangatlah dibutuhkan( Penulis adalah mahasiswa pasca sarjana PKLH UNS dan staff BKKBN Surakarta ).
               
                   
                      








Tidak ada komentar:

Posting Komentar