MENINGKATKAN
PERAN SUAMI DALAM PROGRAM KB
Oleh : Sutarmo
DALAM acara Temu Kerja Paguyuban Prio Utomo
se-Jateng di Gedung Wanita Surakarta, Selasa (8/2), Menneg Pemberdayaan
Perempuan/ Kepala BKKBN Dra.Hj. Khofifah Indar Parawansa mengemukakan perlunya peran
suami dalam program KB ditingkatkan lagi. Sebab, sejak program KB digalakan pemerintah tahun 1970,
hingga sekarang ternyata pengguna
kontrasepsi sebagian besar adalah
wanita. Sehingga, seolah-olah urusan KB hanya menjadi tugas istri. Padahal,
seharusnya tanggung jawab bersama oleh
pasangan suami- istri.
Pernyataan itu, meski bukan pertama kali kita dengar, agaknya patut untuk direnungkan kita semua. Benarkah peran
suami dalam program KB rendah ? Jawabanya,
tentu macam-macam. Bisa benar,
dapat pula salah atau sebagian benar dan sebagian lagi keliru.
Tergantung dari sudut mana kita
melihatnya. Kalau dilihat dari partisipasi
penggunaan kontrasepsi selama ini, baik secara nasional maupun
regional, wanita memang lebih
mendominasi dalam pemakaian kontrasepsi.
Di
Propinsi Jawa Tengah misalnya, pada
pertengahan tahun lalu, tingkat kesertaan ber-KB ( Contraceptive Prevalence Rate/CPR
) sebanyak 4.450.990 atau 82 persen dari
total PUS ( Pasangan Usia Subur ) =
5.428.021. Pengguna kontrasepsi wanita (
IUD, Implant, MOW, Suntik, Pil dan OV ) sebanyak 4.318.053 atau 97 persen.
Sedangkan pemakai kontrasepsi pria ( MOP
dan Kondom ) = 132.937 atau 3 persen
( Umpan Balik,BKKBN Prop. Jateng, 1999). Jadi, dilihat dari
data tersebut, memang partisipasi pria sangat sedikit dibanding wanita.
Kambing Hitam
Tatkala
belum ditemukan kontrasepsi modern seperti Pil, Suntik KB,IUD, dan banyak lagi
kontrasepsi yang diperuntukan wanita,
pengguna kontrasepsi justru didominasi
pria. Cara KB yang ada, waktu itu
hanya kondom dan senggama terputus atau azel ( coitus intereptus),
sehingga praktis suami yang lebih berperan. Baru setelah perang dunia ke dua,
berbagai jenis kontrasepsi modern untuk
wanita berhasil dikembangkan dan mengalami kemajuan amat pesat. Sejak itu,
terjadi perubahan radikal dimana wanita lebih berperan dalam penggunaan
kontrasepsi sampai sekarang.
Keterbatasan
jenis kontrasepsi pria, sering dijadikan kambing hitam rendahnya pria ikut KB. Selain kondom dan senggama
terputus, kini memang telah dikembangkan cara KB vasektomi ( Medis Operatif Pria/MOP). Namun, cara
ini dalam pelaksanaanya masih menghadapi berbagai kendala terutama segi
budaya dan agama. Sehingga, meski telah ditemukan methode “ canggih “ seperti teknik “
U “:yang ditemukan dr. Untung, teknik operasi tanpa pisau yang dapat
direkanalisasi dan sebagainya, namun cara ini tetap saja belum mampu dijadikan
pilihan yang dapat diandalkan bagi pria. Lagi pula MOP belum menjadi program
resmi pemerintah, sehingga wajar bila
peserta MOP masih sedikit dibanding cara KB lain.
Usaha
mencari cara KB pria yang efektif, sampai sekarang terus dilakukan. Dr. Judith
White dari Universitas California misalnya,
pernah mengumumkan protein yang disebut PH-30 yang diharapkan dapat membantu menemukan
kontrasepsi yang efektif bagi pria. BKKBN bekerja sama dengan Pusat Penelitian
Reproduksi berbagai Perguruan Tinggi, beberapa waktu lalu juga telah menemukan
hasil penelitian yang menyebutkan, bahwa kombinasi Depo medroxy progesteron acetate
(DMPA) dan hormon Testosteron enanthate (TE ) dapat digunakan sebagai kontrasepsi
suntik bagi pria. Tapi, hasil-hasil penelitian itu ( dan masih banyak lagi penelitian sejenis )
ternyata sampai sekarang belum dapat dimanfaatkan
pria sebagai alat KB yang efektif.
Menurut
Direktur Riset biomedis dari Population Council yang berpusat di New York, Dr.
Weyne Bardin, untuk menemukan alat KB
pria memang tidak mudah. “Hanya memerlukan satu dari puluhan juta sperma untuk
membuahi sebuah telur. Wanita hanya
memproduksi satu telur setiap bulan. Dengan demikian, sudah pasti lebih mudah untuk menemukan cara
mengontrol satu telur daripada jutaan sperma,” ujar Dr. Wayne Bardin, membandingkan tingkat
kesulitan dan kemudahan antara pil pria
dengan pil untuk wanita.
Walaupun
dihadapkan pada banyak tantangan, Population Council tetap berupaya keras
melakukan penelitian-penelitian untuk menemukan obat kontrasepsi pria. Badan
ini sedang berupaya menemukan obat yang bersifat hormon dan dijadikan susuk KB
( implant ) yang di pasang di bawah
kulit pria. Metode ini, mirip dengan implant dengan enam biji yang sudah banyak
dipakai wanita Indonesia atau implanon yang berisi satu kapsul---jenis
kontrasepsi yang belakangan ini sangat digemari wanita, tapi sayang kini sulit
untuk mendapatkanya.
Ditentang Istri
Faktor
fisiologis pria, juga menjadi kendala bagi pria untuk KB. Sudah menjadi kodrat
Tuhan bahwa yang berkewajiban hamil dan melahirkan anak bukan suami melainkan
istri( wanita ). Sehingga yang paling tahu betapa susah dan repotnya mengandung
dan melahirkan anak, tentu sang istri. Sebab itu, justru
tidak sedikit wanita yang
beranggapan persoalan pengaturan kelahiran dan KB itu urusannya kaum hawa.
Banyak
juga wanita yang tidak setuju bila
suami ikut KB, karena alasan- alasan
tertentu. Kondom dianggap mengganggu dan mengurangi kenikmatan, sebab tidak ada
persentuhan langsung. Itulah sebabnya,
banyak pria yang sebenarnya cocok
pakai kondom justru ditentang istri. Sedangkan cara vasektomi ( MOP ), istri
juga sering tidak ‘sreg’ karena takut sang suami bebas punya WIL ( wanita idaman
lain ). Ada juga istri takut gairah seks
suami berkurang, walaupun secara ilmiah tidak terbukti.
Keengganan sebagian istri bila suami
ikut KB, pernah dibuktikan dalam suatu penelitian di Jakarta. Hasil penelitian
itu menyebutkan bahwa 63 persen wanita setuju suami ikut KB, sementara 37
persen tidak setuju. Fenomena yang menarik, walaupun yang tidak setuju lebih
sedikit, tetapi ternyata cukup banyak wanita yang tidak setuju suami
ber-KB. Karena itu, ketika responden ditanyai siapa yang seharusnya
ber-KB ? Hanya 6,3 persen yang secara tegas menyatakan bahwa suaminyalah yang
perlu ikut KB. Sisanya menyatakan bahwa yang ber-KB berganti-ganti ( 18 persen
), tidak tahu ( 10,9 persen ) dan terbanyak menyatakan bahwa isterilah yang
harus ikut KB.
Tanggung Jawab
Bersama
Kontrasepsi dalam pelaksanaan
program KB memang penting, tetapi harus disadari kita semua bahwa kontrasepsi
bukanlah tujuan digalakannya program KB.
Sebagaimana ditegaskan dalam UU N0.
10/1992 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga
Sejahtera, KB adalah upaya peningkatan
kepedulian dan peran serta masyarakat melalui pendewasaan usia kawin, pengaturan kelahiran, pembinaan ketahanan keluarga, peningkatan
kesejahteraan keluarga untuk mewujudkan keluarga kecil, bahagia dan sejahtera.
Jadi, yang terpenting adalah bagaimana agar keluarga dapat mencapai taraf
hidup bahagia dan sejahtera. Yang dimaksud keluarga sejahtera di sini adalah
keluarga yang dibentuk berdasarkan atas
perkawinan yang sah, mampu memenuhi kbutuhan hidup spiritual dan materiil yang
layak, bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, memiliki hubungan yang serasi,
selaras, dan seimbang antar anggota dan antara keluarga dengan masyarakat dan
lingkungan. Sedangkan kontrasepsi
merupakan sarana penting untuk mencapai tujuan KB tersebut. Sesuai dengan UU N0. 10 tadi, dalam hal penggunaan
kontrasepsi, suami dan istri mempunyai hak dan kewajiban yang sama serta
kedudukan yang sederajat dalam menentukan cara pengaturan kelahiran.
Dalam
hubunganya dengan peningkatan peran suami dalam program KB, setidaknya ada
tiga faktor penting yang harus
diperhatikan yaitu, pertama perlu peningkatan KIE ( Komunikasi Informasi
dan Edukasi ) yang lebih intensif di kalangan pria tentang tanggung jawab
bersama dalam pelaksanaan KB. Salah satu kelemahan program KB di Indonesia selama
ini adalah minimnya peserta KB pria. Sebab itu, Paguyuban Pria Perkasa atau Pria
Utama yang tumbuh di berbagai
daerah dan beranggotakan suami yang telah menjalani vasektomi perlu terus
dibina dan dikembangkan. Kegiatan – kegiatan yang dilakukan oleh kelompok ini
dapat dijadikan sarana KIE yang ampuh dalam meningkatkan penggunaan kontrasepsi
di kalangan pria. Kedua, perlu terus
menerus diteliti dan dikembangkan obat-obatan tradisional khas Indonesia yang
dapat dijadikan alat KB pria.
Terbatasnya jenis kontrasepsi bagi pria, tampaknya justru menjadi
kendala utama peningkatan partisipasi pria dalam program KB. Ketiga,
peningkatan dukungan suami terhadap
istri dalam program KB. Secara struktural dalam kehidupan berkeluarga, suami
sebagai kepala rumah tangga. Mengingat kedudukannya ini, maka keberhasilan mencapai CPR lebih 57 persen di tingkat
nasional, tentu saja atas partisipasi dan dorongan suami yang
mengijinkan istrinya ikut KB. Apabila suami malarang istri memakai kontrasepsi,
tentu hasil KB di Indonesia tidak sehebat sekarang.
Namun,
Indonesia yang kini dihuni lebih dari 202 juta jiwa dan sejak tiga tahun lalu
diterpa badai krisis yang hingga kini belum pulih, menjadikan program KB yang
sudah amat maju itu kini terancam “ gagal “. Kurangnya daya beli
masyarakat akibat gejolak krisis telah membawa dampak menurunya KB mandiri.
Banyak akseptor KB yang terpaksa membelanjakan dananya untuk membeli beras
ketimbang alat kontrasepsi. Kondisi demikian, bila tidak segera diantisipasi,
tentu akan makin menjauhkan kita dari cita-cita mewujudkan keluarga bahagia dan
sejahtera. Agar cita-cita membangun keluarga sejahtera dapat segera
diwujudkan, dan harapan penduduk tumbuh seimbang ( PTS ) pada
tahun 2020 lebih cepat tercapai, partisipasi dan dorongan pria dalam
pelaksanaan KB sangatlah dibutuhkan( Penulis adalah mahasiswa pasca sarjana PKLH
UNS dan staff BKKBN Surakarta ).
BILA SUAMI
HARUS IKUT KB
Oleh : Sutarmo
DALAM acara Temu Kerja Paguyuban Prio Utomo
se-Jateng di Gedung Wanita Surakarta, Selasa (8/2), Menneg Pemberdayaan
Perempuan/ Kepala BKKBN Dra.Hj. Khofifah Indar Parawansa mengemukakan perlunya
peran suami dalam program KB ditingkatkan lagi. Sebab, sejak program KB digalakan pemerintah tahun 1970,
hingga sekarang ternyata pengguna
kontrasepsi sebagian besar adalah
wanita. Sehingga, seolah-olah urusan KB hanya menjadi tugas istri. Padahal, seharusnya
tanggung jawab bersama oleh pasangan
suami- istri.
Pernyataan
itu, meski bukan pertama kali kita dengar, agaknya patut untuk direnungkan kita semua. Benarkah peran
suami dalam program KB rendah ? Jawabanya,
tentu macam-macam. Bisa benar,
dapat pula salah atau sebagian benar dan sebagian lagi keliru. Tergantung
dari sudut mana kita melihatnya. Kalau
dilihat dari partisipasi penggunaan
kontrasepsi selama ini, baik secara nasional maupun regional, wanita memang lebih mendominasi dalam
pemakaian kontrasepsi.
Di
Propinsi Jawa Tengah misalnya, pada
pertengahan tahun lalu, tingkat kesertaan ber-KB ( Contraceptive Prevalence Rate/CPR
) sebanyak 4.450.990 atau 82 persen dari
total PUS ( Pasangan Usia Subur ) =
5.428.021. Pengguna kontrasepsi wanita (
IUD, Implant, MOW, Suntik, Pil dan OV ) sebanyak 4.318.053 atau 97 persen.
Sedangkan pemakai kontrasepsi pria ( MOP
dan Kondom ) = 132.937 atau 3 persen
( Umpan Balik,BKKBN Prop. Jateng, 1999). Jadi, dilihat dari
data tersebut, memang partisipasi pria sangat sedikit dibanding wanita.
Kambing Hitam
Tatkala
belum ditemukan kontrasepsi modern seperti Pil, Suntik KB,IUD, dan banyak lagi
kontrasepsi yang diperuntukan wanita,
pengguna kontrasepsi justru didominasi
pria. Cara KB yang ada, waktu itu
hanya kondom dan senggama terputus atau azel ( coitus intereptus),
sehingga praktis suami yang lebih berperan. Baru setelah perang dunia ke dua,
berbagai jenis kontrasepsi modern untuk
wanita berhasil dikembangkan dan mengalami kemajuan amat pesat. Sejak itu,
terjadi perubahan radikal dimana wanita lebih berperan dalam penggunaan
kontrasepsi sampai sekarang.
Keterbatasan
jenis kontrasepsi pria, sering dijadikan kambing hitam rendahnya pria ikut KB. Selain kondom dan senggama
terputus, kini memang telah dikembangkan cara KB vasektomi ( Medis Operatif Pria/MOP). Namun, cara
ini dalam pelaksanaanya masih menghadapi berbagai kendala teruutama segi
budaya dan agama. Sehingga, meski telah ditemukan methode “ canggih “ seperti teknik “
U “:yang ditemukan dr. Untung, teknik operasi tanpa pisau yang dapat
direkanalisasi dan sebagainya, namun cara ini tetap saja belum mampu dijadikan
pilihan yang dapat diandalkan bagi pria. Lagi pula MOP belum menjadi program
resmi pemerintah, sehingga wajar bila
peserta MOP masih sedikit dibanding cara KB lain.
Usaha
mencari cara KB pria yang efektif, sampai sekarang terus dilakukan. Dr. Judith
White dari Universitas California misalnya,
pernah mengumumkan protein yang disebut PH-30 yang diharapkan dapat membantu menemukan
kontrasepsi yang efektif bagi pria. BKKBN bekerja sama dengan Pusat Penelitian
Reproduksi berbagai Perguruan Tinggi, beberapa waktu lalu juga telah menemukan
hasil penelitian yang menyebutkan, bahwa kombinasi Depo medroxy progesteron acetate
(DMPA) dan hormon Testosteron enanthate (TE ) dapat digunakan sebagai kontrasepsi
suntik bagi pria. Tapi, hasil-hasil penelitian itu ( dan masih banyak lagi penelitian sejenis )
ternyata sampai sekarang belum dapat dimanfaatkan
pria sebagai alat KB yang efektif.
Menurut
Direktur Riset biomedis dari Population Council yang berpusat di New York, Dr.
Weyne Bardin, untuk menemukan alat KB
pria memang tidak mudah. “Hanya memerlukan satu dari puluhan juta sperma untuk
membuahi sebuah telur. Wanita hanya
memproduksi satu telur setiap bulan. Dengan demikian, sudah pasti lebih mudah untuk menemukan cara
mengontrol satu telur daripada jutaan sperma,” ujar Dr. Wayne Bardin, membandingkan tingkat
kesulitan dan kemudahan antara pil pria
dengan pil untuk wanita.
Walaupun dihadapkan
pada banyak tantangan, Population Council tetap berupaya keras melakukan
penelitian-penelitian untuk menemukan obat kontrasepsi pria. Badan ini sedang
berupaya menemukan obat yang bersifat hormon dan dijadikan susuk KB ( implant )
yang di pasang di bawah kulit pria.
Metode ini, mirip dengan implant dengan enam biji yang sudah banyak dipakai
wanita Indonesia atau implanon yang berisi satu kapsul---jenis kontrasepsi yang
belakangan ini sangat digemari wanita, tapi sayang kini sulit untuk mendapatkanya.
Ditentang Istri
Faktor
fisiologis pria, juga menjadi kendala bagi pria untuk KB. Sudah menjadi kodrat
Tuhan bahwa yang berkewajiban hamil dan melahirkan anak bukan suami melainkan
istri( wanita ). Sehingga yang paling tahu betapa susah dan repotnya mengandung
dan melahirkan anak, tentu sang istri. Sebab itu, justru
tidak sedikit wanita yang
beranggapan persoalan pengaturan kelahiran dan KB itu urusannya kaum hawa.
Banyak
juga wanita yang tidak setuju bila
suami ikut KB, karena alasan- alasan
tertentu. Kondom dianggap mengganggu dan mengurangi kenikmatan, sebab tidak ada
persentuhan langsung. Itulah sebabnya,
banyak pria yang sebenarnya cocok
pakai kondom justru ditentang istri. Sedangkan cara vasektomi ( MOP ), istri juga
sering tidak ‘sreg’ karena takut sang suami bebas punya WIL ( wanita idaman
lain ). Ada juga istri takut gairah seks
suami berkurang, walaupun secara ilmiah tidak terbukti.
Keengganan sebagian istri bila suami ikut KB, pernah dibuktikan dalam
suatu penelitian di Jakarta. Hasil penelitian itu menyebutkan bahwa 63 persen
wanita setuju suami ikut KB, sementara 37 persen tidak setuju. Fenomena yang
menarik, walaupun yang tidak setuju lebih sedikit, tetapi ternyata cukup banyak
wanita yang tidak setuju suami ber-KB.
Karena itu, ketika responden
ditanyai siapa yang seharusnya ber-KB ? Hanya 6,3 persen yang secara tegas
menyatakan bahwa suaminyalah yang perlu ikut KB. Sisanya menyatakan bahwa yang
ber-KB berganti-ganti ( 18 persen ), tidak tahu ( 10,9 persen ) dan terbanyak
menyatakan bahwa isterilah yang harus ikut KB.
Tanggung Jawab
Bersama
Kontrasepsi dalam pelaksanaan
program KB memang penting, tetapi harus disadari kita semua bahwa kontrasepsi
bukanlah tujuan digalakannya program KB.
Sebagaimana ditegaskan dalam UU N0.
10/1992 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga
Sejahtera, KB adalah upaya peningkatan
kepedulian dan peran serta masyarakat melalui pendewasaan usia kawin, pengaturan kelahiran, pembinaan ketahanan keluarga, peningkatan
kesejahteraan keluarga untuk mewujudkan keluarga kecil, bahagia dan sejahtera.
Jadi, yang terpenting adalah bagaimana agar keluarga dapat mencapai taraf
hidup bahagia dan sejahtera. Yang dimaksud keluarga sejahtera di sini adalah
keluarga yang dibentuk berdasarkan atas
perkawinan yang sah, mampu memenuhi kbutuhan hidup spiritual dan materiil yang
layak, bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, memiliki hubungan yang serasi,
selaras, dan seimbang antar anggota dan antara keluarga dengan masyarakat dan
lingkungan. Sedangkan kontrasepsi
merupakan sarana penting untuk mencapai tujuan KB tersebut. Sesuai dengan UU N0. 10 tadi, dalam hal
penggunaan kontrasepsi, suami dan istri mempunyai hak dan kewajiban yang sama
serta kedudukan yang sederajat dalam menentukan cara pengaturan kelahiran.
Dalam
hubunganya dengan peningkatan peran suami dalam program KB, setidaknya ada
tiga faktor penting yang harus
diperhatikan yaitu, pertama perlu peningkatan KIE ( Komunikasi Informasi
dan Edukasi ) yang lebih intensif di kalangan pria tentang tanggung jawab
bersama dalam pelaksanaan KB. Salah satu kelemahan program KB di Indonesia
selama ini adalah minimnya peserta KB pria. Sebab itu, Paguyuban Pria
Perkasa atau Pria Utama yang tumbuh di berbagai daerah dan beranggotakan
suami yang telah menjalani vasektomi perlu terus dibina dan dikembangkan.
Kegiatan – kegiatan yang dilakukan oleh kelompok ini dapat dijadikan sarana KIE
yang ampuh dalam meningkatkan penggunaan kontrasepsi di kalangan pria. Kedua, perlu terus menerus diteliti dan dikembangkan
obat-obatan tradisional khas Indonesia yang dapat dijadikan alat KB pria. Terbatasnya jenis kontrasepsi bagi pria,
tampaknya justru menjadi kendala utama peningkatan partisipasi pria dalam
program KB. Ketiga, peningkatan dukungan suami terhadap istri dalam program KB. Secara
struktural dalam kehidupan berkeluarga, suami sebagai kepala rumah tangga.
Mengingat kedudukannya ini, maka keberhasilan
mencapai CPR lebih 57 persen di tingkat nasional, tentu saja atas partisipasi dan dorongan suami yang
mengijinkan istrinya ikut KB. Apabila suami malarang istri memakai kontrasepsi,
tentu hasil KB di Indonesia tidak sehebat sekarang.
Namun,
Indonesia yang kini dihuni lebih dari 202 juta jiwa dan sejak tiga tahun lalu
diterpa badai krisis yang hingga kini belum pulih, menjadikan program KB yang
sudah amat maju itu kini terancam “ gagal “. Kurangnya daya beli
masyarakat akibat gejolak krisis telah membawa dampak menurunya KB mandiri.
Banyak akseptor KB yang terpaksa membelanjakan dananya untuk membeli beras
ketimbang alat kontrasepsi. Kondisi demikian, bila tidak segera diantisipasi,
tentu akan makin menjauhkan kita dari cita-cita mewujudkan keluarga bahagia dan
sejahtera. Agar cita-cita membangun keluarga sejahtera dapat segera
diwujudkan, dan harapan penduduk tumbuh seimbang ( PTS ) pada
tahun 2020 lebih cepat tercapai, partisipasi dan dorongan pria dalam
pelaksanaan KB sangatlah dibutuhkan( Penulis adalah mahasiswa pasca sarjana PKLH
UNS dan staff BKKBN Surakarta ).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar