Sabtu, 10 Desember 2011

ASPEK GENDER DALAM PROGRAM KB


Program KB Era Otonomi Daerah :
MENGAPA PARTISIPASI PRIA MASIH RENDAH ?
Oleh : Sutarmo


 

I. PENDAHULUAN
           TIDAK ada yang meragukan bahwa program Keluarga Berencana ( KB ) sejak dicanangkan pada  1970,  hingga sekarang telah berjalan secara efektif dan efisien  dalam proses pelembagaan dan pembudayaan  Norma Keluarga Kecil Bahagia dan Sejahtera ( NKKBS ).  Dari hasil SDKI 1997, diketahui bahwa sebagian besar ( lebih  57 persen )  pasangan usia subur ( PUS ) telah menjadi akseptor KB aktif ( current user ) dan  94 persen PUS sudah mengetahui tentang kontrasepsi injeksi dan pil termasuk tempat pelayanannya.  Pasangan suami istri yang menjadi peserta KB aktif tersebut kini terus bertambah mencapai lebih dari 68 persen ( BKKBN, 2002 ).
          Tingkat kesertaan KB yang tinggi tersebut memberikan kontribusi langsung terhadap  penurunan  fertilitas. Total fertility rate ( TFR ) turun dari 5,6 tahun 1970 menjadi 2,7 tahun 1997 ( SDKI,1997). Penurunan TFR tersebut kemudian berpengaruh pada penurunan tingkat pertumbuhan penduduk. dari 2,3 persen per tahun  menjadi 1,35 persen per tahun ( BPS, Hasil Sensus Penduduk 2000 ).
          Keberhasilan program KB tsb, tentu melegakan kita semua. Namun dibalik keberhasilan itu,  banyak pihak yang mempertanyakan mengapa partisipasi pria dalam pelaksanaan KB rendah ?  Mengapa pengguna alat/obat kontrasepsi sebagian besar wanita ? Bukankah kebahagiaan dan kesejahteraan keluarga itu menjadi tanggung jawab bersama antara suami dan istri ?sungguhnya  bukanlah hanya mencapai sasaran-sasaran kuantitatif ( demografis ) melainkan juga aspek kualitatif. Program KB, sebagaimana diamanatkan GBHN 1999-2004, merupakan  salah satu program untuk meningkatkan kualitas penduduk, mutu sumber daya manusia, kesehatan dan kesejahteraan sosial. Untuk itulah keberhasilan yang telah diraih, hendaknya dapat dijadikan modal dasar untuk mengembangkan kebijakan  pembangunan yang berwawasan kependudukan.
SELAMA tiga dekade terakhir implementasi program Keluarga Berencana ( KB ) di Indonesia, telah berhasil menurunkan angka fertilitas total ( Total Fertility Rate/TFR ) dari 5,61 per wanita menjadi 2,97 per wanita atau turun sekitar 50 persen. Proporsi pasangan usia subur ( PUS ) yang memakai alat kontrasepsi dari waktu ke waktu terus meningkat. Pada tahun 1980, berdasarkan hasil  Sensus Penduduk (SP 80 ) tercatat PUS yang memakai alat kontrasepsi baru 26 persen. Lima tahun kemudian,  angka itu telah naik menjadi 38 persen dan  dewasa ini  meningkat menjadi  lebih 55 persen.
                Di mata internasional, keberhasilan pelaksanaan KB yang mempunyai tujuan ganda,  yaitu untuk meningkatkan  kesejahteraan ibu dan anak serta  mewujudkan keluarga kecil, bahagia dan sejahtera yang menjadi dasar bagi terwujudnya masyarakat yang sejahtera tersebut, sering menjadi bahan pujian-- sebagai cerita sukses program pengurangan jumlah penduduk. Bank Dunia bahkan memuji Indonesia sebagai “ salah satu dari transisi demografi yang mengesankan di negara berkembang “.
                Namun keberhasilan itu, di era reformasi ini tampaknya mulai dipertanyakan pelbagai pihak terutama berkaitan dengan  masalah (issue ) kesetaraan gender. Aspek kesetaraan gender ini lebih sering diperbincangkan lagi, setelah untuk pertama kalinya dalam sejarah BKKBN  dipimpin seorang wanita.  Menneg Pemberdayaan Perempuan dan Kepala BKKBN Dra. Hj. Khofifah Indar Parawansa, dalam berbagai kesempatan memang  sering  melontarkan issue kesetaraan gender dalam pelaksanaan KB. “Partisipasi pria dalam  kegiatan KB rendah”,  katanya. Benarkah peran pria dalam pelaksanaan KB itu rendah ?

II. TIDAK ADIL
Sedangkan pria, hanya kurang dari 3 persen saja. Sehingga, seolah-olah urusan KB hanya menjadi tugas istri. Padahal, seharusnya tanggung  jawab bersama oleh pasangan suami- istri.
Mengacu arah kebijakan GBHN 1999, maka gerakan KB nasional bertujuan bagi terciptanya penduduk yang berkualitas, sumberdaya manusia yang bermutu, dan meningkatkatnya kesejahteraan keluarga. Bila ditilik tujuan KB yang demikian luas itu, tentu “tidak adil “,  manakala partisipasi pria dalam KB hanya diukur dari partisipasi dalam pemakian kontrasepsi. Apalagi secara teknis, kontrasepsi untuk pria sampai saat ini masih sangat terbatas sehingga menjadikan kendala tersendiri bagi pria. Ukuran yang digunakan tentunya harus mengacu pada tujuan terwujudnya kesejahteraan keluarga tadi. Kontrasepsi bagaimanapun juga harus disadari hanya salah satu sarana mencapai tujuan yang jauh lebih luas.
               Manakala ukurannya terbatas pada penggunaan kontrasepsi, baik secara nasional maupun regional memang wanitalah yang paling banyak memakai kontrasepsi. Di Propinsi Jawa Tengah misalnya,  pada pertengahan tahun lalu, tingkat kesertaan ber-KB ( Contraceptive Prevalence Rate/CPR ) sebanyak  4.450.990 atau 82 persen dari total PUS ( Pasangan Usia Subur )  = 5.428.021.  Pengguna kontrasepsi wanita ( IUD, Implant, MOW, Suntik, Pil dan OV ) sebanyak 4.318.053 atau 97 persen. Sedangkan pemakai kontrasepsi  pria ( MOP dan Kondom ) = 132.937  atau 3 persen( Umpan Balik,BKKBN Prop. Jateng, 1999). Jadi, dilihat dari data tersebut,  partisipasi pria sangat sedikit dibanding wanita.

III KAMBING HITAM
              Harus disadari bahwa tatkala belum ditemukan kontrasepsi modern seperti Pil, Suntik KB,IUD, dan banyak lagi kontrasepsi  yang diperuntukan wanita, pengguna kontrasepsi justru didominasi  pria. Cara KB yang ada, waktu itu  hanya kondom dan senggama terputus atau azel ( coitus intereptus), sehingga praktis suami yang lebih berperan. Baru setelah perang dunia ke dua, berbagai jenis kontrasepsi  modern untuk wanita berhasil dikembangkan dan mengalami kemajuan amat pesat. Sejak itu, terjadi perubahan radikal dimana wanita lebih berperan dalam penggunaan kontrasepsi sampai sekarang.
          Keterbatasan jenis kontrasepsi pria, sering dijadikan “kambing hitam “ rendahnya  pria ikut KB. Selain kondom dan senggama terputus, kini memang telah dikembangkan cara KB vasektomi ( Medis Operatif Pria/MOP). Namun,  cara  ini dalam pelaksanaanya masih menghadapi berbagai kendala teruutama segi budaya dan agama. Sehingga, meski telah ditemukan methode “ canggih “ seperti  teknik “ U “:yang ditemukan dr. Untung, teknik operasi tanpa pisau yang dapat direkanalisasi dan sebagainya, namun cara ini tetap saja belum mampu dijadikan pilihan yang dapat diandalkan bagi pria. Lagi pula MOP belum menjadi program resmi pemerintah,  sehingga wajar bila peserta MOP masih sedikit dibanding cara KB lain.
           Usaha mencari cara KB pria yang efektif, sampai sekarang terus dilakukan. Dr. Judith White dari Universitas California misalnya,  pernah mengumumkan protein yang disebut PH-30  yang diharapkan dapat membantu menemukan kontrasepsi yang efektif bagi pria. BKKBN bekerja sama dengan Pusat Penelitian Reproduksi berbagai Perguruan Tinggi, beberapa waktu lalu juga telah menemukan hasil penelitian yang menyebutkan, bahwa kombinasi Depo medroxy progesteron acetate (DMPA) dan hormon Testosteron enanthate (TE ) dapat digunakan sebagai kontrasepsi suntik bagi pria. Tapi, hasil-hasil penelitian itu (  dan masih banyak lagi penelitian sejenis ) ternyata sampai sekarang belum dapat  dimanfaatkan pria sebagai alat KB yang efektif.
               Menurut Direktur Riset biomedis dari Population Council yang berpusat di New York, Dr. Weyne Bardin, untuk menemukan  alat KB pria memang tidak mudah. “Hanya memerlukan satu dari puluhan juta sperma untuk membuahi sebuah telur. Wanita hanya  memproduksi satu telur setiap bulan. Dengan demikian,  sudah pasti lebih mudah untuk menemukan cara mengontrol satu telur daripada jutaan sperma,” ujar  Dr. Wayne Bardin, membandingkan tingkat kesulitan dan kemudahan antara  pil pria dengan pil untuk  wanita.
            Walaupun dihadapkan pada banyak tantangan, Population Council tetap berupaya keras melakukan penelitian-penelitian untuk menemukan obat kontrasepsi pria. Badan ini sedang berupaya menemukan obat yang bersifat hormon dan dijadikan susuk KB ( implant ) yang di pasang  di bawah kulit pria. Metode ini, mirip dengan implant dengan enam biji yang sudah banyak dipakai wanita Indonesia atau implanon yang berisi satu kapsul---jenis kontrasepsi yang belakangan ini sangat digemari wanita, tapi sayang kini sulit untuk mendapatkanya.
IV.DITENTANG ISTRI
              Faktor fisiologis pria,  seperti dikemdukakan di atas juga menjadi kendala bagi pria untuk KB. Sudah menjadi kodrat Tuhan bahwa yang berkewajiban hamil dan melahirkan anak bukan suami melainkan istri( wanita ). Sehingga yang paling tahu betapa susah dan repotnya mengandung dan melahirkan anak, tentu sang istri. Sebab itu,  justru  tidak sedikit wanita  yang beranggapan persoalan pengaturan kelahiran dan KB itu urusannya kaum hawa.
              Banyak juga  wanita yang tidak setuju bila suami  ikut KB, karena alasan- alasan tertentu. Kondom dianggap mengganggu dan mengurangi kenikmatan, sebab tidak ada persentuhan langsung. Itulah sebabnya,  banyak pria yang  sebenarnya cocok pakai kondom justru ditentang istri. Sedangkan cara vasektomi ( MOP ), istri juga sering tidak ‘sreg’ karena takut sang suami bebas punya WIL ( wanita idaman lain ). Ada juga istri  takut gairah seks suami berkurang, walaupun secara ilmiah tidak terbukti.
              Keengganan sebagian istri bila suami ikut KB, pernah dibuktikan dalam suatu penelitian di Jakarta. Hasil penelitian itu menyebutkan bahwa 63 persen wanita setuju suami ikut KB, sementara 37 persen tidak setuju. Fenomena yang menarik, walaupun yang tidak setuju lebih sedikit, tetapi ternyata cukup banyak wanita yang tidak setuju suami ber-KB.  Karena itu, ketika  responden ditanyai siapa yang seharusnya ber-KB ? Hanya 6,3 persen yang secara tegas menyatakan bahwa suaminyalah yang perlu ikut KB. Sisanya menyatakan bahwa yang ber-KB berganti-ganti ( 18 persen ), tidak tahu ( 10,9 persen ) dan terbanyak menyatakan bahwa isterilah yang harus ikut KB.
V.TANGGUNG JAWAB BERSAMA
               Kontrasepsi  dalam pelaksanaan program KB memang penting, tetapi sekali lagi harus disadari kita semua bahwa kontrasepsi bukanlah  tujuan digalakannya program KB. Sebagaimana  ditegaskan dalam UU N0. 10/1992 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Sejahtera,  KB adalah upaya peningkatan kepedulian dan peran serta masyarakat melalui pendewasaan usia kawin,  pengaturan kelahiran,  pembinaan ketahanan keluarga, peningkatan kesejahteraan keluarga untuk mewujudkan keluarga kecil, bahagia dan sejahtera.
                Jadi,  yang terpenting adalah   bagaimana agar keluarga dapat mencapai taraf hidup bahagia dan sejahtera. Yang dimaksud keluarga sejahtera di sini adalah keluarga yang dibentuk berdasarkan  atas perkawinan yang sah, mampu memenuhi kbutuhan hidup spiritual dan materiil yang layak, bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, memiliki hubungan yang serasi, selaras, dan seimbang antar anggota dan antara keluarga dengan masyarakat dan lingkungan.  Sesuai dengan UU N0. 10 tadi, dalam hal penggunaan kontrasepsi, suami dan istri mempunyai hak dan kewajiban yang sama serta kedudukan yang sederajat dalam menentukan cara pengaturan kelahiran.


 VI. PENUTUP
                Dalam hubunganya dengan peningkatan peran suami dalam program KB, setidaknya  ada  tiga faktor penting yang  harus diperhatikan  yaitu, pertama  perlu peningkatan KIE ( Komunikasi Informasi dan Edukasi ) yang lebih intensif di kalangan pria tentang tanggung jawab bersama dalam pelaksanaan KB. Dalam kaitan ini, Paguyuban Pria Perkasa atau Pria Utama yang  tumbuh di berbagai daerah dan beranggotakan suami yang telah menjalani vasektomi perlu terus dibina dan dikembangkan. Kegiatan – kegiatan yang dilakukan oleh kelompok ini dapat dijadikan sarana KIE yang ampuh dalam meningkatkan penggunaan kontrasepsi di kalangan pria.              Kedua,  perlu terus menerus diteliti dan dikembangkan obat-obatan tradisional khas Indonesia yang dapat dijadikan alat KB pria.  Terbatasnya jenis kontrasepsi bagi pria, tampaknya justru menjadi kendala utama peningkatan partisipasi pria dalam program KB. Jadi, selama alat KB pria masih sangat terbatas kiranya sulit kita mengharap peserta KB pria akan melonjak di masa depan.
             Ketiga, peningkatan dukungan suami  terhadap istri dalam program KB. Secara struktural di masyarakat dan kehiduapan keluarga kita, memang harus diakui bahwa  kedudukan suami sebagai kepala rumah tangga. Mengingat kedudukannya ini, maka keberhasilan  mencapai CPR lebih 57 persen di tingkat nasional,  tentu saja atas  partisipasi dan dorongan suami yang mengijinkan istrinya ikut KB. Di sini, peran pria tak boleh dipandang “ enteng” dalam pelaksanaan KB. Apabila suami malarang istri memakai kontrasepsi, tentu hasil KB di Indonesia tidak sehebat sekarang. Jadi kalau istri sudah ikut KB yang didukung dan dimufakatkan  bersama suami,  kiranya soal kesetaraan gender dalam penggunaan kontraserpsi pria tak masalah. Apa ya harus dua-duanya ( suami dan istri ) memakai kontrasepsi  ?
            Namun, Indonesia yang kini dihuni lebih dari 202 juta jiwa dan sejak tiga tahun lalu diterpa badai krisis yang hingga kini belum pulih,  menjadikan program KB  yang  sudah amat maju itu kini terancam “ gagal “. Kurangnya daya beli masyarakat akibat gejolak krisis telah membawa dampak menurunya KB mandiri. Banyak akseptor KB yang terpaksa membelanjakan dananya untuk membeli beras ketimbang alat kontrasepsi.   .        Kondisi demikian, bila tidak segera diantisipasi, tentu akan makin menjauhkan kita dari cita-cita mewujudkan keluarga bahagia dan sejahtera. Agar cita-cita membangun keluarga sejahtera itu dapat segera diwujudkan,  partisipasi dan dorongan pria dalam pelaksanaan KB sangatlah dibutuhkan dan agar lebih ditingkatkan lagi. Bila istri tidak cocok dengan obat KB tertentu, mengapa suami tidak mencoba ikut KB ?( Penulis adalah mahasiswa pasca sarjana PKLH UNS ).
               
                   
                      















Daftar Pustaka

Brown. Lester R, Kembali Di Simpang Jalan. Jakarta : CV Rajawali
Erik Eckholm dan Kathleen Newland, 1984, Wanita, Kesehatan dan KB, Jakarta : Sinar Harapan.
James. T. Fawacett, 1984, Psikologi dan Kependudukan. Jakarta : CV. Rajawali
Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional, 1996, Informasi Dasar Gerakan KB dan Pembangunan Keluarga Sejahtera. Jakarta.
Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional,1992, Undang-Undang RI NO.19/1992. Jakarta : JID.
Khofifah Indar Parawansa, 1999, BKKBN Utamakan KB dan Pemberdayaan Wanita. Jakarta : Kompas 16 Desember.
Masri Singarimbun,1992, Menuju KB Tanpa Paksaan, Jakarta : Kompas 27 Juni.
Ninik Widiyanti S, 1987, Ledakan Penduduk Menjelang Tahun 2000. Jakarta : Bina Aksara.
Natapulu. B-SNP, 1979, Pembangunan dan Keluarga Bertanggung Jawab, Jakarta : Erlangga

Tidak ada komentar:

Posting Komentar