Program KB
Era Otonomi Daerah :
MENGAPA
PARTISIPASI PRIA MASIH RENDAH ?
Oleh : Sutarmo
I. PENDAHULUAN
TIDAK ada yang meragukan bahwa
program Keluarga Berencana ( KB ) sejak dicanangkan pada 1970,
hingga sekarang telah berjalan secara efektif dan efisien dalam proses pelembagaan dan pembudayaan Norma Keluarga Kecil Bahagia dan Sejahtera (
NKKBS ). Dari hasil SDKI 1997, diketahui
bahwa sebagian besar ( lebih 57 persen
) pasangan usia subur ( PUS ) telah
menjadi akseptor KB aktif ( current user
) dan 94 persen PUS sudah mengetahui
tentang kontrasepsi injeksi dan pil termasuk tempat pelayanannya. Pasangan suami istri yang menjadi peserta KB
aktif tersebut kini terus bertambah mencapai lebih dari 68 persen ( BKKBN, 2002
).
Tingkat kesertaan KB yang tinggi
tersebut memberikan kontribusi langsung terhadap penurunan fertilitas. Total fertility rate ( TFR ) turun
dari 5,6 tahun 1970 menjadi 2,7 tahun 1997 ( SDKI,1997). Penurunan TFR tersebut
kemudian berpengaruh pada penurunan tingkat pertumbuhan penduduk. dari 2,3
persen per tahun menjadi 1,35 persen per
tahun ( BPS, Hasil Sensus Penduduk 2000 ).
Keberhasilan program KB tsb, tentu
melegakan kita semua. Namun dibalik keberhasilan itu, banyak pihak yang mempertanyakan mengapa
partisipasi pria dalam pelaksanaan KB rendah ?
Mengapa pengguna alat/obat kontrasepsi sebagian besar wanita ? Bukankah
kebahagiaan dan kesejahteraan keluarga itu menjadi tanggung jawab bersama
antara suami dan istri ?sungguhnya
bukanlah hanya mencapai sasaran-sasaran kuantitatif ( demografis ) melainkan
juga aspek kualitatif. Program KB, sebagaimana diamanatkan GBHN 1999-2004,
merupakan salah satu program untuk
meningkatkan kualitas penduduk, mutu sumber daya manusia, kesehatan dan
kesejahteraan sosial. Untuk itulah keberhasilan yang telah diraih, hendaknya
dapat dijadikan modal dasar untuk mengembangkan kebijakan pembangunan yang berwawasan kependudukan.
SELAMA
tiga dekade terakhir implementasi program Keluarga Berencana ( KB ) di
Indonesia, telah berhasil menurunkan angka fertilitas total ( Total Fertility
Rate/TFR ) dari 5,61 per wanita menjadi 2,97 per wanita atau turun sekitar 50
persen. Proporsi pasangan usia subur ( PUS ) yang memakai alat kontrasepsi dari
waktu ke waktu terus meningkat. Pada tahun 1980, berdasarkan hasil Sensus Penduduk (SP 80 ) tercatat PUS yang
memakai alat kontrasepsi baru 26 persen. Lima tahun kemudian, angka itu telah naik menjadi 38 persen
dan dewasa ini meningkat menjadi lebih 55 persen.
Di mata internasional,
keberhasilan pelaksanaan KB yang mempunyai tujuan ganda, yaitu untuk meningkatkan kesejahteraan ibu dan anak serta mewujudkan keluarga kecil, bahagia dan
sejahtera yang menjadi dasar bagi terwujudnya masyarakat yang sejahtera
tersebut, sering menjadi bahan pujian-- sebagai cerita sukses program pengurangan
jumlah penduduk. Bank Dunia bahkan memuji Indonesia sebagai “ salah satu dari transisi demografi yang
mengesankan di negara berkembang “.
Namun
keberhasilan itu, di era reformasi ini tampaknya mulai dipertanyakan pelbagai
pihak terutama berkaitan dengan masalah
(issue
) kesetaraan
gender. Aspek kesetaraan gender ini lebih sering
diperbincangkan lagi, setelah untuk pertama kalinya dalam sejarah BKKBN dipimpin seorang wanita. Menneg Pemberdayaan Perempuan dan Kepala
BKKBN Dra. Hj. Khofifah Indar Parawansa, dalam berbagai kesempatan memang sering
melontarkan issue kesetaraan gender dalam pelaksanaan KB. “Partisipasi
pria dalam kegiatan KB rendah”, katanya. Benarkah peran pria dalam
pelaksanaan KB itu rendah ?
II.
TIDAK ADIL
Sedangkan pria, hanya kurang dari 3 persen saja. Sehingga,
seolah-olah urusan KB hanya menjadi tugas istri. Padahal, seharusnya
tanggung jawab bersama oleh pasangan
suami- istri.
Mengacu arah kebijakan GBHN 1999, maka gerakan KB nasional
bertujuan bagi terciptanya penduduk yang berkualitas, sumberdaya
manusia yang bermutu, dan meningkatkatnya kesejahteraan keluarga. Bila
ditilik tujuan KB yang demikian luas itu, tentu “tidak adil “, manakala partisipasi pria dalam KB hanya
diukur dari partisipasi dalam pemakian kontrasepsi. Apalagi secara teknis,
kontrasepsi untuk pria sampai saat ini masih sangat terbatas sehingga
menjadikan kendala tersendiri bagi pria. Ukuran yang digunakan tentunya harus
mengacu pada tujuan terwujudnya kesejahteraan keluarga tadi. Kontrasepsi
bagaimanapun juga harus disadari hanya salah satu sarana mencapai tujuan yang
jauh lebih luas.
Manakala ukurannya terbatas pada penggunaan kontrasepsi, baik secara
nasional maupun regional memang wanitalah yang paling banyak memakai
kontrasepsi. Di Propinsi Jawa Tengah misalnya,
pada pertengahan tahun lalu, tingkat kesertaan ber-KB ( Contraceptive
Prevalence Rate/CPR ) sebanyak
4.450.990 atau 82 persen dari total PUS ( Pasangan Usia Subur ) = 5.428.021.
Pengguna kontrasepsi wanita ( IUD, Implant, MOW, Suntik, Pil dan OV )
sebanyak 4.318.053 atau 97 persen. Sedangkan pemakai kontrasepsi pria ( MOP dan Kondom ) = 132.937 atau 3 persen( Umpan Balik,BKKBN Prop.
Jateng, 1999). Jadi, dilihat dari data tersebut, partisipasi pria sangat sedikit dibanding
wanita.
III
KAMBING HITAM
Harus
disadari bahwa tatkala belum ditemukan kontrasepsi modern seperti Pil, Suntik
KB,IUD, dan banyak lagi kontrasepsi yang
diperuntukan wanita, pengguna kontrasepsi justru didominasi pria. Cara KB yang ada, waktu itu hanya kondom dan senggama terputus atau azel
( coitus intereptus), sehingga praktis suami yang lebih berperan. Baru
setelah perang dunia ke dua, berbagai jenis kontrasepsi modern untuk wanita berhasil dikembangkan dan
mengalami kemajuan amat pesat. Sejak itu, terjadi perubahan radikal dimana
wanita lebih berperan dalam penggunaan kontrasepsi sampai sekarang.
Keterbatasan
jenis kontrasepsi pria, sering dijadikan “kambing hitam “ rendahnya pria ikut KB. Selain kondom dan senggama
terputus, kini memang telah dikembangkan cara KB vasektomi ( Medis Operatif Pria/MOP). Namun, cara
ini dalam pelaksanaanya masih menghadapi berbagai kendala teruutama segi
budaya dan agama. Sehingga, meski telah ditemukan methode “ canggih “ seperti teknik “
U “:yang ditemukan dr. Untung, teknik operasi tanpa pisau yang dapat
direkanalisasi dan sebagainya, namun cara ini tetap saja belum mampu dijadikan
pilihan yang dapat diandalkan bagi pria. Lagi pula MOP belum menjadi program
resmi pemerintah, sehingga wajar bila
peserta MOP masih sedikit dibanding cara KB lain.
Usaha
mencari cara KB pria yang efektif, sampai sekarang terus dilakukan. Dr. Judith
White dari Universitas California
misalnya, pernah mengumumkan protein
yang disebut PH-30 yang diharapkan dapat
membantu menemukan kontrasepsi yang efektif bagi pria. BKKBN bekerja sama
dengan Pusat Penelitian Reproduksi berbagai Perguruan Tinggi, beberapa waktu
lalu juga telah menemukan hasil penelitian yang menyebutkan, bahwa kombinasi Depo
medroxy progesteron acetate (DMPA) dan hormon Testosteron enanthate (TE
) dapat digunakan sebagai kontrasepsi suntik bagi pria. Tapi, hasil-hasil
penelitian itu ( dan masih banyak lagi
penelitian sejenis ) ternyata sampai sekarang belum dapat dimanfaatkan pria sebagai alat KB yang efektif.
Menurut
Direktur Riset biomedis dari Population Council yang berpusat di
New York, Dr. Weyne Bardin, untuk menemukan
alat KB pria memang tidak mudah. “Hanya memerlukan satu dari puluhan
juta sperma untuk membuahi sebuah telur. Wanita hanya memproduksi satu telur setiap bulan. Dengan
demikian, sudah pasti lebih mudah untuk
menemukan cara mengontrol satu telur daripada jutaan sperma,” ujar Dr. Wayne Bardin, membandingkan tingkat
kesulitan dan kemudahan antara pil pria
dengan pil untuk wanita.
Walaupun
dihadapkan pada banyak tantangan, Population Council tetap berupaya
keras melakukan penelitian-penelitian untuk menemukan obat kontrasepsi pria.
Badan ini sedang berupaya menemukan obat yang bersifat hormon dan dijadikan susuk
KB ( implant ) yang di pasang di bawah
kulit pria. Metode ini, mirip dengan implant dengan enam biji yang sudah banyak
dipakai wanita Indonesia atau implanon yang berisi satu kapsul---jenis
kontrasepsi yang belakangan ini sangat digemari wanita, tapi sayang kini sulit
untuk mendapatkanya.
IV.DITENTANG
ISTRI
Faktor
fisiologis pria, seperti dikemdukakan di
atas juga menjadi kendala bagi pria untuk KB. Sudah menjadi kodrat Tuhan bahwa
yang berkewajiban hamil dan melahirkan anak bukan suami melainkan istri( wanita
). Sehingga yang paling tahu betapa susah dan repotnya mengandung dan
melahirkan anak, tentu sang istri. Sebab itu,
justru tidak sedikit wanita yang beranggapan persoalan pengaturan
kelahiran dan KB itu urusannya kaum hawa.
Banyak juga wanita yang tidak setuju bila suami ikut KB, karena alasan- alasan tertentu.
Kondom dianggap mengganggu dan mengurangi kenikmatan, sebab tidak ada
persentuhan langsung. Itulah sebabnya,
banyak pria yang sebenarnya cocok
pakai kondom justru ditentang istri. Sedangkan cara vasektomi ( MOP ), istri
juga sering tidak ‘sreg’ karena takut sang suami bebas punya WIL ( wanita idaman
lain ). Ada juga istri takut gairah seks
suami berkurang, walaupun secara ilmiah tidak terbukti.
Keengganan sebagian istri bila suami ikut
KB, pernah dibuktikan dalam suatu penelitian di Jakarta. Hasil penelitian itu
menyebutkan bahwa 63 persen wanita setuju suami ikut KB, sementara 37 persen
tidak setuju. Fenomena yang menarik, walaupun yang tidak setuju lebih sedikit,
tetapi ternyata cukup banyak wanita yang tidak setuju suami ber-KB. Karena itu, ketika responden ditanyai siapa yang seharusnya
ber-KB ? Hanya 6,3 persen yang secara tegas menyatakan bahwa suaminyalah yang
perlu ikut KB. Sisanya menyatakan bahwa yang ber-KB berganti-ganti ( 18 persen
), tidak tahu ( 10,9 persen ) dan terbanyak menyatakan bahwa isterilah yang
harus ikut KB.
V.TANGGUNG
JAWAB BERSAMA
Kontrasepsi dalam pelaksanaan
program KB memang penting, tetapi sekali lagi harus disadari kita semua bahwa
kontrasepsi bukanlah tujuan digalakannya
program KB. Sebagaimana ditegaskan dalam
UU N0. 10/1992 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga
Sejahtera, KB adalah upaya peningkatan
kepedulian dan peran serta masyarakat melalui pendewasaan usia kawin, pengaturan kelahiran, pembinaan ketahanan keluarga, peningkatan
kesejahteraan keluarga untuk mewujudkan keluarga kecil, bahagia dan sejahtera.
Jadi, yang terpenting adalah bagaimana agar keluarga dapat mencapai taraf
hidup bahagia dan sejahtera. Yang dimaksud keluarga sejahtera di sini adalah
keluarga yang dibentuk berdasarkan atas
perkawinan yang sah, mampu memenuhi kbutuhan hidup spiritual dan materiil yang
layak, bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, memiliki hubungan yang serasi,
selaras, dan seimbang antar anggota dan antara keluarga dengan masyarakat dan
lingkungan. Sesuai dengan UU N0. 10
tadi, dalam hal penggunaan kontrasepsi, suami dan istri mempunyai hak dan
kewajiban yang sama serta kedudukan yang sederajat dalam menentukan cara
pengaturan kelahiran.
VI. PENUTUP
Dalam
hubunganya dengan peningkatan peran suami dalam program KB, setidaknya ada
tiga faktor penting yang harus
diperhatikan yaitu, pertama perlu peningkatan KIE ( Komunikasi Informasi
dan Edukasi ) yang lebih intensif di kalangan pria tentang tanggung jawab
bersama dalam pelaksanaan KB. Dalam kaitan ini, Paguyuban Pria Perkasa atau Pria
Utama yang tumbuh di berbagai
daerah dan beranggotakan suami yang telah menjalani vasektomi perlu terus
dibina dan dikembangkan. Kegiatan – kegiatan yang dilakukan oleh kelompok ini
dapat dijadikan sarana KIE yang ampuh dalam meningkatkan penggunaan kontrasepsi
di kalangan pria. Kedua, perlu terus menerus diteliti dan dikembangkan
obat-obatan tradisional khas Indonesia yang dapat dijadikan alat KB pria. Terbatasnya jenis kontrasepsi bagi pria,
tampaknya justru menjadi kendala utama peningkatan partisipasi pria dalam
program KB. Jadi, selama alat KB pria masih sangat terbatas kiranya sulit kita
mengharap peserta KB pria akan melonjak di masa depan.
Ketiga,
peningkatan dukungan suami terhadap
istri dalam program KB. Secara struktural di masyarakat dan kehiduapan keluarga
kita, memang harus diakui bahwa
kedudukan suami sebagai kepala rumah tangga. Mengingat kedudukannya ini,
maka keberhasilan mencapai CPR lebih 57
persen di tingkat nasional, tentu saja
atas partisipasi dan dorongan suami yang
mengijinkan istrinya ikut KB. Di sini, peran pria tak boleh dipandang “
enteng” dalam pelaksanaan KB. Apabila suami malarang istri memakai
kontrasepsi, tentu hasil KB di Indonesia tidak sehebat sekarang. Jadi kalau
istri sudah ikut KB yang didukung dan dimufakatkan bersama suami, kiranya soal kesetaraan gender dalam penggunaan kontraserpsi pria tak masalah.
Apa ya harus dua-duanya ( suami dan istri ) memakai kontrasepsi ?
Namun,
Indonesia yang kini dihuni lebih dari 202 juta jiwa dan sejak tiga tahun lalu
diterpa badai krisis yang hingga kini belum pulih, menjadikan program KB yang
sudah amat maju itu kini terancam “ gagal “. Kurangnya daya beli
masyarakat akibat gejolak krisis telah membawa dampak menurunya KB mandiri.
Banyak akseptor KB yang terpaksa membelanjakan dananya untuk membeli beras
ketimbang alat kontrasepsi. . Kondisi demikian, bila tidak segera
diantisipasi, tentu akan makin menjauhkan kita dari cita-cita mewujudkan
keluarga bahagia dan sejahtera. Agar cita-cita membangun keluarga sejahtera itu
dapat segera diwujudkan, partisipasi dan
dorongan pria dalam pelaksanaan KB sangatlah dibutuhkan dan agar lebih
ditingkatkan lagi. Bila istri tidak cocok dengan obat KB tertentu, mengapa
suami tidak mencoba ikut KB ?( Penulis adalah mahasiswa pasca sarjana PKLH
UNS ).
Daftar Pustaka
Brown. Lester R, Kembali Di Simpang Jalan. Jakarta
: CV Rajawali
Erik Eckholm dan Kathleen Newland, 1984, Wanita, Kesehatan dan KB,
Jakarta : Sinar Harapan.
James. T. Fawacett, 1984, Psikologi
dan Kependudukan. Jakarta : CV. Rajawali
Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional, 1996, Informasi
Dasar Gerakan KB dan Pembangunan Keluarga Sejahtera.
Jakarta.
Badan Koordinasi Keluarga Berencana
Nasional,1992, Undang-Undang RI NO.19/1992. Jakarta : JID.
Khofifah Indar Parawansa, 1999, BKKBN
Utamakan KB dan Pemberdayaan Wanita. Jakarta : Kompas 16 Desember.
Masri
Singarimbun,1992, Menuju KB Tanpa Paksaan, Jakarta : Kompas 27 Juni.
Ninik Widiyanti S, 1987,
Ledakan Penduduk Menjelang Tahun 2000. Jakarta : Bina Aksara.
Natapulu. B-SNP, 1979, Pembangunan
dan Keluarga Bertanggung Jawab, Jakarta : Erlangga
Tidak ada komentar:
Posting Komentar