Jumat, 30 Desember 2011

Sejarah Perkawinan

SEJARAH PERKAWINAN MAKLUK MANUSIA
Oleh Sutarmo


1.     Jenis-Jenis Perkawinan
1.1.Zaman jahiliyah
               Hubungan antara pria dan wanita dalam bentuk berpasangan sudah dikenal sejak dahulu kala.  Menurut sebuah Hadist yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Abu  Daud, yang dituturkan oleh isteri Nabi SAW ‘ Aisyah r.a. bahwa ada  4 ( empat ) macam bentuk perkawinan yaitu :
a.      Nikah,  seperti  yang berlaku sekarang ini dimana si pria melamar kepada keluarga si wanita yang diinginkannya dengan memberikan mahar lalu menikahinya.
b.      Nikahul istibdla yaitu restunya seseorang,   membiarkan istrinya ketika sedang suci dari haid untuk berhubungan dengan seorang tertentu yang daripadanya ia menginginkan memperoleh bibit keturunan yang diidamkannya misalnya bibit yang cerdas,  anak yang cantik dan sebagainya.
c.      Wanita menunjuk suami.  Bentuk perkawinan ini dimulai dari beberapa orang pria ( tidak sampai 10 orang ) berhubungan dengan seorang wanita tertentu. Kemudian ketika wanita itu hamil dan melahirkan banyinya lalu dipanggillah sejumlah pria yang telah berhubungan tadi untuk dipilih salah satu menjadi suami.
d.      Pelacuran,  yaitu seorang wanita menyediakan diri untuk berhubungan dengan pria siapa saja. Bila wanita ini hamil dan melahirkan anak, maka dipanggillah  qafah yaitu ahli pengenal jejak atau nasab yaitu suatu profesi
        Selain yang dituturkan Permaisuri Nabi Muhammad SAW di  atas,  dalam sejarah di zaman jahiliyah juga dikenal bentuk lain yaitu nikahusyighar dan nikahul badal.  Perkawinan silang antara dua orang yang masing-masing mempunyai wanita yang berada dalam perwaliannya tanpa ada mahar disebut nikahusyighar.  Sedangkan nikahul badal ialah pertukaran pasangan antara dua pasang suami istri.
        Menurut hukum adat jahiliyah,  seorang pria dibenarkan mengambil isteri dalam jumlah yang tidak terbatas. Kecuali itu,  pria juga dapat menceraikan istri-istrinya  semau-maunya dan kapan pun juga tanpa resiko apa pun atas perceraian itu.
          1.2. Perkawinan Pasca jahiliyah
a.      Monogami,  adalah suatu sistem perkawinan di mana seorang pria/wanita hanya boleh menikah dengan lawan jenisnya pada  suatu waktu tertentu.
b.      Poligami, yaitu suatu sistem perkawinan di mana seorang pria/wanita dapat menikah dengan lebih dari seorang lawan jenisnya pada suatu waktu yang sama.  Bila seorang pria melakukan perkawinan dengan lebih seorang wanita disebut poligini.  Sebaliknya,  seorang wanita mempunyai lebih dari  seorang suami dalam  waktu yang sama disebut poliandri.
      Poliandri suatu fenomena yang jarang ditemukan,  tetapi dalam sejarah jenis perkawinan ini biasa dilakukan oleh kelompok Khasa, Nair, Irawan, Coorg, Toda dan  Kota  di India. Sedangkan jenis  monogami dan poligini sampai sekarang  lazim dijumpai di banyak negara.  Poligini banyak dilakukan di Asia dan Afrika. Bahkan di Afrika  hukum adat yang berlaku mengijinkan bahkan mendorong pria memiliki isteri sebanyak ia suka.

2.  Hukum  dan Status Perkawinan
         Biasanya  hukum perkawinan yang dipandang syah didasarkan pada  :
a.      Hukum agama
b.      Hukum sipil
c.      Hukum adat 
         Status perkawinan,  hampir di semua negara mengacu dengan kategori  yang diberikan PBB yaitu belum kawin, kawin, janda dan cerai.  Kasus di Amerika Latin, Amerika Serikat dan Amerika Selatan,  berbeda dengan  yang berlaku di negara-negara lain dimana status consensual atau convience dianggap berstatus kawin. Ikatan konsensual yaitu kumpul ( di negara kita biasa disebut kumpul kebo, WIL/PIL ) tanpa mempunyai status hukum baik agama,  sipil dan adat.
        Dalam demografi,   kita juga mengenal status tidak pernah kawin yang biasanya disebut selibasi            ( hidup selibat ). Bila seseorang tetap tidak pernah kawin sampai usia 45-49 tahun disebut selibasi permanen. Banyak faktor yang menyebabkan  hidup selibat, diantaranya  menganggap tidak ada pria/wanita yang cukup memenuhi syarat ( eligible ), faktor kebudayaan,  sosial ekonomi dan sebagainya.
       Selain hidup selibat,  juga dikenal hidup menjanda atau menduda yang merupakan dari perbedaan umur suami dan istri. Biasanya umur suami lebih tua dan tingkat mortalitas istri lebih rendah dari suami, maka kemungkinan besar banyak wanita yang hidup menjanda. Di banyak negara, seperti di Asia janda kawin lagi bukanlah sesuatu yang tabu. Tapi di kalangan suku Sati di India, sangat tabu bagi seorang janda untuk kawin lagi.


   3. Tujuan ( nilai ) perkawinan
a.         Menyalurkan kebutuhan dasar ( basic need ) manusia
b.         Mengembangkan keturunan dan melestarikan kehidupan manusia
c.          Membentuk keluarga yang bahagia, sejahtera dan kekal
d.         Dalam Islam ( tidak sekedar a.b. dan c ) tujuannya lebih luas yaitu sebagai salah satu sarana untuk mengabdikan diri kepada Alloh SWT. Oleh karena itu perkawinan merupakan sesuatu yang suci dan luhur. 
     

D. Umur Perkawinan

            Dalam demografi masalah keluarga dan perkawinan  mendapatkan perhatian khusus karena pengaruhnya baik langsung maupun tidak langsung terhadap pertumbuhan penduduk. Usia kawin yang lebih dewasa, pengaruh langsungnya adalah makin singkatnya seorang wanita mengalami risiko melahirkan anak; pengaruh tidak langsungnya adalah munculnya sikap-sikap baru terhadap perkawinan dan keluarga yang dapat menurunkan fertilitas, misalnya sikap untuk tidak kawin cepat yang penting menyelesaikan study dan sebagainya.
               Kecuali itu,  sebagaimana diungkap di atas,  tujuan perkawinan sesungguhnya merupakan sesuatu yang suci dan luhur sehingga haruslah dipersiapkan, termasuk umur perkawinan. Usia seseorang akan menjadi ukuran apakah ia sudah cukup dewasa dalam bersikap dan berbuat atau belum.
         Menurut UU Perkawinan, wanita ditetapkan 16 tahun dan pria 19 tahun untuk dapat melangsungkan pernikahan. Namun haruslah disadari bahwa UU tersebut  menganut prinsip hendaklah melangsungkan perkawinan setelah matang jiwa dan raganya.  Dalam hukum Islam tidak disebutkan secara jelas kapan umur perkawinan harus dilangsungkan. Islam hanya menyebutkannya dengan perkataan balaghun nikah aritinya seseorang yang sudah akil baligh. Yaitu bagi pria ditandai dengan telah datangnya mimpi melakukan sengama, dan bagi wanita ditandai dengan datangnya haid / menstruasi. Oleh sebab itu,  berdasarkan pengalaman dan hasil penelitian  dianjurkan untuk melangsungkan perkawinan minimal pada usia 25 tahun bagi remaja pria dan 20 tahun untuk wanita.
E.  Keluarga Kecil Sejahtera
          Secara normatif ( kualitatif ) untuk mewujudkan keluarga sakinah sebagaimana disebutkan di atas,  tentunya  akan lebih mudah  diwujudkan oleh keluarga yang  memiliki jumlah anak kecil dan terencana dari pada keluarga dengan jumlah anak banyak. Keluarga dengan jumlah anak kecil, tentunya akan  lebih mudah melaksanakan  8 ( delapan ) fungsi keluarga sebagai pra syarat terwujudnya keluarga yang sakinah. Sebaliknya,  keluarga  dengan jumlah anak banyak tentunya akan menimbulkan banyak masalah ketimbang  manfaat yang diperoleh.
         Menurut hasil temuan LPM-UGM ( 1982 ), bagi bangsa Indonesia  terdapat banyak alasan atau motivasi berkeluarga kecil. Namun pilihan alasan itu, lebih banyak ditinjua dari segi meminimumkan resiko  dari pada  segi memaksimumkan manfaat. Bulatao ( 1979 )  menyebutkan sejumlah response terhadap ertanyaan terbuka ( open ended question ) dan kemudian mengklasifikasikannya sbb :
      1. Keuntungan
a.      Bantuan instrumental
ü Bantuan dalam kerja rumah tangga
ü Bantuan di hari tua
ü Bantuan keuangan dan bantuan praktis
ü Penerus nama keluarga
ü Kewajiban sosial dan religius
ü Manifestasi kedewasaan status norma sosial
b.      Interaksi yang bermanfaat
ü Untuk kawan, cinta
ü Kebahagiaan
ü Teman Bermain, kegemaran
ü Memperkuat ikatan perkawinan
c.      Apresiasi Psikologis
ü Hidup melalui/untuk anak
ü Rasa berprestasi
ü Karakter, tanggung jawab
ü Incentive mencapai kesuksesan
ü Rasa terpuaskan ( fulfillment )
d.      Lain-lain
2. Kerugian
a.      Biaya Keuangan
ü Biaya pendidikan
ü Biaya lain-lain
b.      Tuntutan Pemeliharaan anak
ü Tambahan pekerjaan
ü Tekanan emosional
ü Kesehatan, kehamilan
ü Disiplin
ü Kalau anak-anak sakit
ü Kekhawatiran masa depan anak-anak
ü Problema-problema lain dalam mengasuh anak
c.      Membatasi Kebebasan Orang Tua
ü Kesibukan
ü Tidak bisa kerja
d.      Biaya terhadap hubungan sosial
ü Ketegangan perkawinan
ü Ledakan Kependudukan
       e.  Lain-lain

E. Perencanaan Keluarga
           Untuk merealisasikan tujuan perkawinan yaitu terwujudnya keluarga bahagia dan  sejahtera ( keluarga sakinah ) diperlukan  perencanaan keluarga.  Perencanaan keluarga yang dibahas di sini meliputi cara mengatur jarak kehamilan, jumlah keluarga yang diinginkan dan usia terbaik bagi seorang ibu untuk melahirkan.
1.             Mengatur kehamilan dan jumlah anak yang diinginkan.
             Ditilik dari aspek kesehatan, maka kehamilan harus di atur. Bila seorang ibu melahirkan diperlukan waktu yang cukup sehabis persalinan, agar kesehatan ibu pulih kembali dan rahimnya kuat kembali seperti semula dan untuk ini diperlukan waktu paling tidak 3 tahun untuk seorang ibu hamil lagi.
            Selain itu sudah tentu setelah persalinan ibu perlu menyusui bayinya, sebab dibanding dengan susu kaleng, ASI jauh lebih sempurna bagi sang bayi. Adalah tidak baik bila  selagi menyusui si ibu sudah hamil kembali, sebab zat makanan dari ibu terpaksa dibagi dua yaitu untuk bayi dan untuk janin yang dikandungnya.
          Dengan alasan seperti itu, maka pemerintah dalam hal ini BKKBN menganjurkan agar jarak kehamilan  / kelahiran  anak satu dengan lainnya minimal 5 tahun.
          Untuk jumlah anak pun perlu direncanakan oleh setiap keluarga dengan sebaik-baiknya. Secara empiris memang suatu keluarga dengan jumlah anak sedikit lebih ringan biaya hidup yang diperlukan dibanding dengan keluarga  jumlah anak yang lebih besar. Oleh sebab itu,  pola hidup keluarga kecil perlu dikembangkan.
          Dari  sudut demografi jumlah anak yang paling ideal yaitu 2/3. Bila tiap keluarga rata-rata mempunyai dua anak maka dalam kurun waktu tertentu penduduk kita akan mencapai keadaan seimbang karena tingkat kematian akan sama dengan tingkat kelahiran; sedangkan anak yang dilahirkan cukup untuk menggantikan ayah dan ibunya.

   2. Usia Terbaik untuk melahirkan
           Seorang ibu yang melahirkan pada usia yang terlalu muda adalah kurang baik akibatnya bagi ibu maupun bagi bayi yang dilahirkan. Hal ini disebabkan pada usia muda seorang ibu secara mental dan psik belum siap untuk mengasuh anak. Demikian juga halnya adalah kurang baik bagi seorang ibu melahirkan anak pada usia yang lanjut.
          Dari aspek kesehatan usia terbaik bagi ibu untuk melahirkan adalah 20 – 30 tahun.  Dila seorang ibu melahirkan sebelum  20 tahun atau setelah 30 tahun, maka resiko kematian ibu karena melahirkan jauh lebih tinggi dari pada persalinan usia 20 – 30 tahun. Demikian juga resiko kematian bayi pada usia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar