SEJARAH PERKAWINAN MAKLUK MANUSIA
Oleh Sutarmo
1. Jenis-Jenis Perkawinan
1.1.Zaman
jahiliyah
Hubungan antara pria dan wanita
dalam bentuk berpasangan sudah dikenal sejak dahulu kala. Menurut sebuah Hadist yang diriwayatkan oleh
Imam Bukhari dan Imam Abu Daud, yang
dituturkan oleh isteri Nabi SAW ‘ Aisyah r.a. bahwa ada 4 ( empat ) macam bentuk perkawinan yaitu :
a.
Nikah,
seperti yang berlaku sekarang ini
dimana si pria melamar kepada keluarga si wanita yang diinginkannya dengan
memberikan mahar lalu menikahinya.
b.
Nikahul istibdla yaitu restunya
seseorang, membiarkan istrinya ketika
sedang suci dari haid untuk berhubungan dengan seorang tertentu yang
daripadanya ia menginginkan memperoleh bibit keturunan yang diidamkannya
misalnya bibit yang cerdas, anak yang
cantik dan sebagainya.
c.
Wanita menunjuk suami. Bentuk perkawinan ini dimulai dari beberapa
orang pria ( tidak sampai 10 orang ) berhubungan dengan seorang wanita
tertentu. Kemudian ketika wanita itu hamil dan melahirkan banyinya lalu
dipanggillah sejumlah pria yang telah berhubungan tadi untuk dipilih salah satu
menjadi suami.
d.
Pelacuran, yaitu seorang wanita menyediakan diri untuk
berhubungan dengan pria siapa saja. Bila wanita ini hamil dan melahirkan anak,
maka dipanggillah qafah yaitu ahli
pengenal jejak atau nasab yaitu suatu profesi
Selain yang dituturkan Permaisuri Nabi
Muhammad SAW di atas, dalam sejarah di zaman jahiliyah juga dikenal
bentuk lain yaitu nikahusyighar dan nikahul badal. Perkawinan silang antara dua orang yang
masing-masing mempunyai wanita yang berada dalam perwaliannya tanpa ada mahar
disebut nikahusyighar.
Sedangkan nikahul badal ialah pertukaran pasangan antara
dua pasang suami istri.
Menurut hukum adat jahiliyah, seorang pria dibenarkan mengambil isteri
dalam jumlah yang tidak terbatas. Kecuali itu,
pria juga dapat menceraikan istri-istrinya semau-maunya dan kapan pun juga tanpa resiko
apa pun atas perceraian itu.
1.2. Perkawinan Pasca jahiliyah
a.
Monogami, adalah suatu sistem perkawinan di mana
seorang pria/wanita hanya boleh menikah dengan lawan jenisnya pada suatu waktu tertentu.
b.
Poligami, yaitu suatu sistem
perkawinan di mana seorang pria/wanita dapat menikah dengan lebih dari seorang
lawan jenisnya pada suatu waktu yang sama.
Bila seorang pria melakukan perkawinan dengan lebih seorang wanita
disebut poligini.
Sebaliknya, seorang wanita
mempunyai lebih dari seorang suami dalam waktu yang sama disebut poliandri.
Poliandri suatu fenomena yang jarang
ditemukan, tetapi dalam sejarah jenis
perkawinan ini biasa dilakukan oleh kelompok Khasa, Nair, Irawan, Coorg, Toda
dan Kota
di India. Sedangkan jenis
monogami dan poligini sampai sekarang
lazim dijumpai di banyak negara.
Poligini banyak dilakukan di Asia dan Afrika. Bahkan di Afrika hukum adat yang berlaku mengijinkan bahkan
mendorong pria memiliki isteri sebanyak ia suka.
2. Hukum
dan Status Perkawinan
Biasanya hukum perkawinan yang dipandang syah
didasarkan pada :
a.
Hukum agama
b.
Hukum sipil
c.
Hukum adat
Status perkawinan, hampir di semua negara mengacu dengan
kategori yang diberikan PBB yaitu belum
kawin, kawin, janda dan cerai. Kasus di
Amerika Latin, Amerika Serikat dan Amerika Selatan, berbeda dengan yang berlaku di negara-negara lain dimana
status consensual atau convience dianggap berstatus
kawin. Ikatan konsensual yaitu kumpul ( di negara kita biasa disebut kumpul
kebo, WIL/PIL ) tanpa mempunyai status hukum baik agama, sipil dan adat.
Dalam demografi, kita juga mengenal status tidak pernah kawin
yang biasanya disebut selibasi ( hidup selibat ). Bila seseorang
tetap tidak pernah kawin sampai usia 45-49 tahun disebut selibasi
permanen. Banyak faktor yang menyebabkan hidup selibat, diantaranya menganggap tidak ada pria/wanita yang cukup
memenuhi syarat ( eligible ), faktor kebudayaan, sosial ekonomi dan sebagainya.
Selain hidup selibat, juga dikenal hidup menjanda atau menduda yang
merupakan dari perbedaan umur suami dan istri. Biasanya umur suami lebih tua
dan tingkat mortalitas istri lebih rendah dari suami, maka kemungkinan besar
banyak wanita yang hidup menjanda. Di banyak negara, seperti di Asia janda kawin
lagi bukanlah sesuatu yang tabu. Tapi di kalangan suku Sati di India, sangat
tabu bagi seorang janda untuk kawin lagi.
3. Tujuan ( nilai ) perkawinan
a.
Menyalurkan kebutuhan dasar ( basic
need ) manusia
b.
Mengembangkan keturunan dan melestarikan kehidupan manusia
c.
Membentuk keluarga yang bahagia, sejahtera dan kekal
d.
Dalam Islam ( tidak sekedar a.b. dan c ) tujuannya lebih luas yaitu sebagai
salah satu sarana untuk mengabdikan diri kepada Alloh SWT. Oleh
karena itu perkawinan merupakan sesuatu yang suci dan luhur.
D. Umur Perkawinan
Dalam demografi masalah keluarga
dan perkawinan mendapatkan perhatian
khusus karena pengaruhnya baik langsung maupun tidak langsung terhadap
pertumbuhan penduduk. Usia kawin yang lebih dewasa, pengaruh langsungnya adalah
makin singkatnya seorang wanita mengalami risiko melahirkan anak; pengaruh
tidak langsungnya adalah munculnya sikap-sikap baru terhadap perkawinan dan
keluarga yang dapat menurunkan fertilitas, misalnya sikap untuk tidak kawin
cepat yang penting menyelesaikan study dan sebagainya.
Kecuali itu, sebagaimana diungkap di atas, tujuan perkawinan sesungguhnya merupakan
sesuatu yang suci dan luhur sehingga haruslah dipersiapkan, termasuk umur
perkawinan. Usia seseorang akan menjadi ukuran apakah ia sudah cukup dewasa
dalam bersikap dan berbuat atau belum.
Menurut UU Perkawinan, wanita
ditetapkan 16 tahun dan pria 19 tahun untuk dapat melangsungkan pernikahan.
Namun haruslah disadari bahwa UU tersebut
menganut prinsip hendaklah melangsungkan perkawinan setelah matang jiwa
dan raganya. Dalam hukum Islam tidak
disebutkan secara jelas kapan umur perkawinan harus dilangsungkan. Islam hanya
menyebutkannya dengan perkataan balaghun nikah aritinya seseorang
yang sudah akil baligh. Yaitu bagi pria ditandai dengan telah datangnya mimpi
melakukan sengama, dan bagi wanita ditandai dengan datangnya haid / menstruasi.
Oleh sebab itu, berdasarkan pengalaman
dan hasil penelitian dianjurkan untuk
melangsungkan perkawinan minimal pada usia 25 tahun bagi remaja pria dan 20
tahun untuk wanita.
E. Keluarga Kecil Sejahtera
Secara normatif ( kualitatif ) untuk
mewujudkan keluarga sakinah sebagaimana disebutkan di atas, tentunya
akan lebih mudah diwujudkan oleh
keluarga yang memiliki jumlah anak kecil
dan terencana dari pada keluarga dengan jumlah anak banyak. Keluarga dengan
jumlah anak kecil, tentunya akan lebih
mudah melaksanakan 8 ( delapan ) fungsi
keluarga sebagai pra syarat terwujudnya keluarga yang sakinah. Sebaliknya, keluarga
dengan jumlah anak banyak tentunya akan menimbulkan banyak masalah
ketimbang manfaat yang diperoleh.
Menurut hasil temuan LPM-UGM ( 1982 ),
bagi bangsa Indonesia terdapat banyak
alasan atau motivasi berkeluarga kecil. Namun pilihan alasan itu, lebih banyak
ditinjua dari segi meminimumkan resiko
dari pada segi memaksimumkan
manfaat. Bulatao ( 1979 ) menyebutkan
sejumlah response terhadap ertanyaan terbuka ( open ended question ) dan
kemudian mengklasifikasikannya sbb :
1. Keuntungan
a.
Bantuan instrumental
ü Bantuan
dalam kerja rumah tangga
ü Bantuan
di hari tua
ü Bantuan
keuangan dan bantuan praktis
ü Penerus
nama keluarga
ü Kewajiban
sosial dan religius
ü Manifestasi
kedewasaan status norma sosial
b.
Interaksi yang bermanfaat
ü Untuk
kawan, cinta
ü Kebahagiaan
ü Teman
Bermain, kegemaran
ü Memperkuat
ikatan perkawinan
c.
Apresiasi Psikologis
ü Hidup
melalui/untuk anak
ü Rasa
berprestasi
ü Karakter,
tanggung jawab
ü Incentive
mencapai kesuksesan
ü Rasa
terpuaskan ( fulfillment )
d.
Lain-lain
2.
Kerugian
a.
Biaya Keuangan
ü Biaya
pendidikan
ü Biaya
lain-lain
b.
Tuntutan Pemeliharaan anak
ü Tambahan
pekerjaan
ü Tekanan
emosional
ü Kesehatan,
kehamilan
ü Disiplin
ü Kalau
anak-anak sakit
ü Kekhawatiran
masa depan anak-anak
ü Problema-problema
lain dalam mengasuh anak
c.
Membatasi Kebebasan Orang Tua
ü Kesibukan
ü Tidak
bisa kerja
d.
Biaya terhadap hubungan sosial
ü Ketegangan
perkawinan
ü Ledakan
Kependudukan
e.
Lain-lain
E. Perencanaan Keluarga
Untuk merealisasikan tujuan
perkawinan yaitu terwujudnya keluarga bahagia dan sejahtera ( keluarga sakinah )
diperlukan perencanaan keluarga. Perencanaan keluarga yang dibahas di sini
meliputi cara mengatur jarak kehamilan, jumlah keluarga yang diinginkan dan
usia terbaik bagi seorang ibu untuk melahirkan.
1.
Mengatur kehamilan dan jumlah anak yang diinginkan.
Ditilik dari aspek kesehatan, maka kehamilan harus di atur. Bila seorang
ibu melahirkan diperlukan waktu yang cukup sehabis persalinan, agar kesehatan
ibu pulih kembali dan rahimnya kuat kembali seperti semula dan untuk ini
diperlukan waktu paling tidak 3 tahun untuk seorang ibu hamil lagi.
Selain
itu sudah tentu setelah persalinan ibu perlu menyusui bayinya, sebab dibanding
dengan susu kaleng, ASI jauh lebih sempurna bagi sang bayi. Adalah tidak baik
bila selagi menyusui si ibu sudah hamil
kembali, sebab zat makanan dari ibu terpaksa dibagi dua yaitu untuk bayi dan
untuk janin yang dikandungnya.
Dengan
alasan seperti itu, maka pemerintah dalam hal ini BKKBN menganjurkan agar jarak
kehamilan / kelahiran anak satu dengan lainnya minimal 5 tahun.
Untuk
jumlah anak pun perlu direncanakan oleh setiap keluarga dengan sebaik-baiknya.
Secara empiris memang suatu keluarga dengan jumlah anak sedikit lebih ringan
biaya hidup yang diperlukan dibanding dengan keluarga jumlah anak yang lebih besar. Oleh sebab
itu, pola hidup keluarga kecil perlu
dikembangkan.
Dari sudut demografi jumlah anak yang paling ideal
yaitu 2/3. Bila tiap keluarga rata-rata mempunyai dua anak maka dalam kurun
waktu tertentu penduduk kita akan mencapai keadaan seimbang karena tingkat
kematian akan sama dengan tingkat kelahiran; sedangkan anak yang dilahirkan
cukup untuk menggantikan ayah dan ibunya.
2. Usia Terbaik
untuk melahirkan
Seorang
ibu yang melahirkan pada usia yang terlalu muda adalah kurang baik akibatnya
bagi ibu maupun bagi bayi yang dilahirkan. Hal ini disebabkan pada usia muda
seorang ibu secara mental dan psik belum siap untuk mengasuh anak. Demikian
juga halnya adalah kurang baik bagi seorang ibu melahirkan anak pada usia yang
lanjut.
Dari aspek kesehatan usia
terbaik bagi ibu untuk melahirkan adalah 20 – 30 tahun. Dila seorang ibu melahirkan sebelum 20 tahun atau setelah 30 tahun, maka resiko
kematian ibu karena melahirkan jauh lebih tinggi dari pada persalinan usia 20 –
30 tahun. Demikian juga resiko kematian bayi pada usia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar