NASIB PROGRAM KB
PASCA
DESENTRALISASI BKKBN
Oleh Sutarmo
Mungkin banyak yang belum tahu,
bahwa tanggal 29 Juni ini merupakan Hari Keluarga Nasional ( Harganas ). Meski
sudah peringatan yang ke- 10, tapi
gemanya memang belum seperti hari-hari nasional lain. Menurut rencana, dalam
kesempatan peringatan Harganas X yang puncak acaranya berlangsung di Lumajang
Jawa Timur itu, sekaligus akan dicanangkan secara nasional oleh Presiden
tentang perubahan status Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional ( BKKBN )
dari instansi pemerintah pusat/vertikal menjadi wewenang pemerintah daerah/kota.
Perubahan status itu, sebelumanya
memang sudah ditegaskan melalui Kepres N0. 103 Tahun 2001 Tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan
Organisasi, dan Tata Kerja Lembaga Pemerintah Non Departemen ( LPND), termasuk BKKBN. Dalam Kepres
yang ditandatangani Presiden Megawati Sukarno Putri itu, disebutkan ada 25 LPND
yang mempunyai tugas khusus dan bertanggung jawab kepada Presiden. Untuk tugas
yang dibebankan pemerintah ke BKKBN selambat-lambatnya akhir tahun 2003 sudah
dialihkan ke pemerintah daerah .
Lahirnya Kepres ini, sebagai tindak
lanjut pelaksanaan UU N0. 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah yang
menyebutkan bahwa kewenangan daerah mencakup semua bidang pemerintahan kecuali
masalah politik luar negeri, hankam, peradilan, agama, moneter dan fiskal.
Dalam UU N0.22 Tahun 1999 itu, instansi BKKBN tidak termasuk 11 bidang pemerintahan yang wajib dilaksanakan oleh
daerah kabupaten dan daerah kota. Itu artinya,
instansi BKKBN diperlukan atau tidak sangat tergantung dari daerah
masing-masing. Apakah BKKBN akan
diliquidasi, dimerger atau tetap ada, terh pada pemerintah daerah/kota
masing-masing.
Andil
BKKBN
Program
keluarga berencana nasional yang ditangani oleh BKKBN, siapa pun
tahu, termasuk dunia internasional ikut mengagumi bahwa KB sebagai program yang sangat berhasil. Kecuali
berhasil menurunkan angka kelahiran dan laju pertumbuhan penduduk, juga yang terpenting sesungguhnya adalah
keberhasilan mengubah sikap mental dan perilaku bagian terbesar masyarakat
kita. Dari budaya keluarga besar menjadi keluarga kecil, yang menjadi prasyarat
membangun keluarga berkualitas, keluarga yang bahagia dan sejahtera.
Sejak
dicanangkan pada 1970, hingga sekarang telah berjalan secara efektif
dan efisien dalam proses pelembagaan dan
pembudayaan Norma Keluarga Kecil Bahagia
dan Sejahtera ( NKKBS ). Dari hasil SDKI
1997, diketahui bahwa sebagian besar ( lebih
57 persen ) pasangan usia subur (
PUS ) telah menjadi akseptor KB aktif ( current
user ) dan 94 persen PUS sudah
mengetahui tentang kontrasepsi injeksi dan pil termasuk tempat
pelayanannya. Pasangan suami istri yang
menjadi peserta KB aktif tersebut kini terus bertambah mencapai lebih dari 68
persen ( BKKBN, 2002 ).
Tingkat
kesertaan KB yang tinggi tersebut memberikan kontribusi langsung terhadap penurunan
fertilitas. Total fertility rate ( TFR ) turun 50 persen yaitu dari 5,6 tahun 1970 menjadi
2,7 tahun 1997 ( SDKI,1997). Penurunan TFR tersebut kemudian berpengaruh pada
penurunan tingkat pertumbuhan penduduk. dari 2,3 persen per tahun menjadi 1,35 persen per tahun ( BPS, Hasil
Sensus Penduduk 2000 ).
Keberhasilan program KB tsb, tentu melegakan kita semua. Namun sasaran
program KB yang sesungguhnya bukanlah
hanya mencapai sasaran-sasaran kuantitatif ( demografis ) melainkan juga aspek
kualitatif. Program KB, sebagaimana diamanatkan GBHN 1999-2004, merupakan salah satu program untuk meningkatkan
kualitas penduduk, mutu sumber daya manusia, kesehatan dan kesejahteraan
sosial.
Posisi Strategis
Program
KB sebagai bagian strategis dari kebijakan kependudukan ( Population Policy ), memang sering diartikan secara sempit hanya
sebagai pengendalian fertilitas ( fertility
control ). Pemahaman seperti Ini, tentu saja sekarang kurang tepat, sebab
program KB memang dirancang tidak semata untuk pengendalian fertilitas. Program
KB bertujuan lebih luas yaitu mewujudkan
norma keluarga kecil bahagia dan sejahtera ( NKKBS ).
Dalam UU N0.10/1992 tentang
Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Sejahtera yang telah
dijabarkan dengan PP N0.21 dan No. 27 Tahun 1994, disebutkan bahwa KB
adalah upaya kepedulian dan peran serta
masyarakat melalui pendewasaan usia perkawinan, pengaturan kelahiran, pembinaan
ketahanan keluarga, peningkatan kesejahteraan keluarga untuk mewujudkan keluarga kecil, bahagia dan
sejahtera.
Program
KB yang tidak semata-mata sebagai fertility
control, selain digariskan dalam UU
N0.10/1992, juga merupakan hasil kesepakatan dunia dalam Conference
on Population and Devalopment ( ICPD ) di Cairo tahun 1994. Oleh sebab itu,
dalam pelaksanaan program KB telah terjadi pergeseran pendekatan yaitu yang
semula hanya menekankan pada pendekatan demografis atau kependudukan saja
kemudian berkembang lebih mengarah pada kesehatan reproduksi. Visi program
KB juga mengalami perubahan sesuai dengan paradigma baru yaitu
“ Keluarga Berkualitas 2015 “.
Dengan
paradigma baru itu, program KB ke depan
ditujukan untuk meningkatkan kualitas program dalam memenuhi hak-hak
reproduksi, kesehatan reproduksi, pemberdayaan keluarga, pengentasan penduduk
atau keluarga miskin, peningkatan kesejahteraan anak, pemberdayaan perempuan
dan pengendalian kelahiran agar terwujud keluarga kecil yang bahagia dan
sejahtera yang pada akhirnya menuju terwujudnya penduduk dan keluarga
berkualitas ( BKKBN,2001 ).
Tujuan program KB tersebut dilandasi oleh
kesadaran yang kuat bahwa bagi setiap bangsa, penduduk merupakan sumber daya
yang paling penting dan berharga. Karena itulah maka negara berkewajiban untuk
menjamin semua penduduk mendapatkan
kesempatan mengembangkan potensi dirinya. Dengan kekuatan ( modal ) pada jumlah
penduduk yang banyak ( rangking 4
penduduk terbanyak di dunia )
maka kebijakan kependudukan menjadi prioritas nasional. Kebijakan Pembangunan
sektor kependudukan khususnya program KB, karenanya memiliki posisi strategis.
Pembangunan di sektor lain amat dipengaruhi keberhasilan dalam pembangunan
sektor kependudukan. Oleh karena itu, program KB diposisikan sebagai bagian
penting dari strategi pembangunan. Ketidakberhasilan keluarga berencana akan
berdampak negatif terhadap sektor pendidikan, kesehatan, ketenagakerjaan dan
lain-lain.
Desentralisasi
. Dalam era reformasi, setelah jatuhnya
pemeritahan orde baru, dari segi kelembagaan, kebijakan kependudukan seperti
kehilangan arah. Sewaktu era kepemimpinan Presiden Aburahman Wahid dan juga
Presiden Habibie, status menteri negara kependudukan yang sebelumnya menjadi
tempat “ memasak “ kebijakan
kependudukan malah dihilangkan. Presiden
Gus Dur kemudian membentuk Badan Administrasi Kependudukan dan Mobilitas
Penduduk ( BAKMP ). Namun
status lembaga ini dalam pemerintahan
Megawati ditiadakan dan diganti dengan ( hanya ) membuka Dirjen Administrasi
Kependudukan di Departemen Dalam Negeri dan Dirjen Mobilitas Penduduk di
Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi.
Dalam UU N0.22/1999 tentang
Pemerintahan Daerah, bidang kependudukan dan Keluarga Berencana juga tidak
masuk sebagai bidang yang wajib dilaksanakan di daerah. Hal ini
memunculkan kesan kuat bahwa program kependudukan dan KB seakan-akan tidak lagi
penting dilaksanakan di era otonomi daerah..Di tengah situasi yang “ tidak
jelas” seperti itu, kemudian muncul
Kepres 166/2000 ditandatangani Presiden
Gus Dur yang menegaskan bahwa program KB yang dikoordinir BKKBN sebagai instansi
Vertikal. Kepres 166/2000 yang mensentralkan program KB pada era kepemimpinan
Megawati diganti dengan Kepres 103/2001
yang mendesentraliasikan program KB. Dalam Kepres 103/2001 ditegaskan agar
program KB paling lambat akhir tahun 2003 ini sudah menjadi wewenang daerah.
Perlu Lembaga ?
Berbagai perubahan kondisi lingkungan
strategis di atas, tentunya akan
berdampak pada model strategic
management program yang akan dijalankan, baik pada struktur program, strategi,
maupun proses pengorganiasiannya. Dalam kaitan ini, berbagai hasil kuantitatif
dan kualitatif yang telah dicapai program KB selama ini dapat menjadi modal dasar, sebagai pintu masuk ( point of entry ) dan
sekaligus pelopor untuk mendorong
pempinan daerah ( eksekutif dan legislatif ) tentang urgensitas pembangunan berwawasan kependudukan di
daerahnya.
Pembangunan
berwawasan kependudukan secara sederhana dapat dilihat dalam dua sisi, yaitu (
1 ) bagaimana mengintegrasikan aspek kependudukan dalam perencanaan
pembangunan, dan ( 2 ) pembangunan kependudukan ( penduduk ) itu sendiri agar dapat
menjadi pelaku-pelaku pembangunan yang handal. Dalam hal ini bagaimana
mengendalikan pertumbuhan penduduk, mengarahkan mobilitas penduduk,
meningkatkan kualitas penduduk dan didukung dengan sistem informasi
kependudukan yang menunjang tujuan pembangunan tersebut .
Para perencana dan pengambil keputusan
di daerah, sebagaimana diingatkan para ahli kependudukan, harus menyadari bahwa
perencanaan pembangunan yang meniadakan variabel kependudukan merupakan
kebijakan yang tidak sempurna ( not
complete), dan kebijakan
kependudukan yang tidak dikaitkan dengan pembangunan adalah tidak bermakna ( not sound ).
Pengalaman menunjukan bahwa strategi
pembangunan yang hanya bertumpu pada pertumbuhan ( ekonomi ) tanpa melihat
potensi penduduk yang ada, nyatanya tidaklah berlangsung secara
berkesinambungan ( sustained ).
Krisis ekonomi yang diikuti dengan krisis multidimensi yang dialami sekarang
ini, terjadinya tidak lepas dari strategi pembangunan yang kurang mengindahkan
dimensi kependudukan. Agar tidak terjadi krisis sama yang “menyengsarakan”
generasi di masa mendatang, diperlukan
implementasi pembangunan yang berwawasan kependudukan. Untuk itu di daerah
perlu ada kelembagaan kependudukan yang secara khusus memikirkan, merencanakan
dan melaksanakan program kependudukan keluarga berencana. Penulis adalah
Dosen Akademi Kebidanan Aisyiyah Surakarta dan Staff BKKBN Sukoharjo
BIBLIOGRAFI
Erik Eckholm dan
Kathleen Newland, 1984, Wanita, Kesehatan dan KB, Jakarta :
Sinar Harapan.
Badan Koordinasi
Keluarga Berencana Nasional, 2002, Kependudukn,KB dan KS.. Jakarta.
-----------------------,1992, Undang-Undang RI NO.10/1992.
Jakarta : JID.
-----------------------,2001, Visi dan Misi Program KB Nasionl.
Jakarta
Khofifah Indar Parawansa, 2000, Pokok-Pokok Pikiran Kebijakan dan Strategi
Era Baru Gerakan KB Nasional. Jakarta :
LDFE UI-Warta Demografi Tahun ke-30, N0.1, 2000.
KartonoWirosuhardjo,1981,Kebijakan Kependudukan.( Dasar-Dasar
Demografi ) Jakarta.: LDFE UI
Kepres 103/2001, Tentang Kedudukan,
Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi, Dan Tata Kerja LPND,
Jakarta : 2001
Prijono Tjiptoherijanto,2002, Kelembagaan Kependudukan Era Otda.
Jakarta : LDEFE-Warta Demografi Tahun-32,N0.4,2002
Sutarmo, 2000, Aspek Gender dalam Pelaksanaan KB, Semarang : HU Suara Merdeka,
29 Juni 200.Halaman IV.
Arsip/Aspek G-stm
Tidak ada komentar:
Posting Komentar