Senin, 05 Desember 2011

NASIB PROGRAM KB PASCA DESENTRALISASI BKKBN Oleh Sutarmo


NASIB PROGRAM KB
 PASCA  DESENTRALISASI  BKKBN


Oleh  Sutarmo

       
           Mungkin banyak yang belum tahu, bahwa tanggal 29 Juni ini merupakan Hari Keluarga Nasional ( Harganas ). Meski sudah peringatan yang ke- 10,  tapi gemanya memang belum seperti hari-hari nasional lain. Menurut rencana, dalam kesempatan peringatan Harganas X yang puncak acaranya berlangsung di Lumajang Jawa Timur itu, sekaligus akan dicanangkan secara nasional oleh Presiden tentang perubahan status Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional ( BKKBN ) dari instansi pemerintah pusat/vertikal menjadi wewenang  pemerintah daerah/kota.
         Perubahan status itu, sebelumanya memang sudah ditegaskan melalui Kepres N0. 103 Tahun 2001 Tentang  Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Lembaga Pemerintah Non Departemen        ( LPND), termasuk BKKBN. Dalam Kepres yang ditandatangani Presiden Megawati Sukarno Putri itu, disebutkan ada 25 LPND yang mempunyai tugas khusus dan bertanggung jawab kepada Presiden. Untuk tugas yang dibebankan pemerintah ke BKKBN selambat-lambatnya akhir tahun 2003 sudah dialihkan ke pemerintah daerah .
       Lahirnya Kepres ini, sebagai tindak lanjut pelaksanaan UU N0. 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah yang menyebutkan bahwa kewenangan daerah mencakup semua bidang pemerintahan kecuali masalah politik luar negeri, hankam, peradilan, agama, moneter dan fiskal. Dalam UU N0.22 Tahun 1999 itu, instansi BKKBN tidak termasuk 11 bidang  pemerintahan yang wajib dilaksanakan oleh daerah kabupaten dan daerah kota. Itu artinya,   instansi BKKBN diperlukan atau tidak sangat tergantung dari daerah masing-masing.  Apakah BKKBN akan diliquidasi, dimerger atau tetap ada, terh pada pemerintah daerah/kota masing-masing.
 Andil BKKBN
        Program  keluarga berencana nasional yang ditangani oleh BKKBN, siapa pun tahu,  termasuk dunia internasional  ikut mengagumi bahwa KB  sebagai program yang sangat berhasil. Kecuali berhasil menurunkan angka kelahiran dan laju pertumbuhan penduduk,  juga yang terpenting sesungguhnya adalah keberhasilan mengubah sikap mental dan perilaku bagian terbesar masyarakat kita. Dari budaya keluarga besar menjadi keluarga kecil, yang menjadi prasyarat membangun keluarga berkualitas, keluarga yang bahagia dan sejahtera.
    Sejak dicanangkan pada  1970,  hingga sekarang telah berjalan secara efektif dan efisien  dalam proses pelembagaan dan pembudayaan  Norma Keluarga Kecil Bahagia dan Sejahtera ( NKKBS ).  Dari hasil SDKI 1997, diketahui bahwa sebagian besar ( lebih  57 persen )  pasangan usia subur ( PUS ) telah menjadi akseptor KB aktif ( current user ) dan  94 persen PUS sudah mengetahui tentang kontrasepsi injeksi dan pil termasuk tempat pelayanannya.  Pasangan suami istri yang menjadi peserta KB aktif tersebut kini terus bertambah mencapai lebih dari 68 persen ( BKKBN, 2002 ).
          Tingkat kesertaan KB yang tinggi tersebut memberikan kontribusi langsung terhadap  penurunan  fertilitas. Total fertility rate ( TFR ) turun  50 persen yaitu dari 5,6 tahun 1970 menjadi 2,7 tahun 1997 ( SDKI,1997). Penurunan TFR tersebut kemudian berpengaruh pada penurunan tingkat pertumbuhan penduduk. dari 2,3 persen per tahun  menjadi 1,35 persen per tahun ( BPS, Hasil Sensus Penduduk 2000 ).
          Keberhasilan program KB tsb, tentu melegakan kita semua. Namun sasaran program KB yang sesungguhnya  bukanlah hanya mencapai sasaran-sasaran kuantitatif ( demografis ) melainkan juga aspek kualitatif. Program KB, sebagaimana diamanatkan GBHN 1999-2004, merupakan  salah satu program untuk meningkatkan kualitas penduduk, mutu sumber daya manusia, kesehatan dan kesejahteraan sosial.



Posisi Strategis
          Program KB sebagai bagian strategis dari kebijakan kependudukan           ( Population Policy ), memang sering diartikan secara sempit hanya sebagai pengendalian fertilitas ( fertility control ). Pemahaman seperti Ini, tentu saja sekarang kurang tepat, sebab program KB memang dirancang tidak semata untuk pengendalian fertilitas. Program KB bertujuan  lebih luas yaitu mewujudkan norma keluarga kecil bahagia dan sejahtera ( NKKBS ).
          Dalam  UU N0.10/1992 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Sejahtera yang telah dijabarkan dengan PP N0.21 dan No. 27 Tahun 1994, disebutkan bahwa KB adalah  upaya kepedulian dan peran serta masyarakat melalui pendewasaan usia perkawinan, pengaturan kelahiran, pembinaan ketahanan keluarga, peningkatan kesejahteraan keluarga  untuk mewujudkan keluarga kecil, bahagia dan sejahtera.
          Program KB yang tidak semata-mata sebagai fertility control,  selain digariskan dalam UU N0.10/1992, juga merupakan hasil kesepakatan dunia dalam  Conference on Population and Devalopment ( ICPD ) di Cairo tahun 1994. Oleh sebab itu, dalam pelaksanaan program KB telah terjadi pergeseran pendekatan yaitu yang semula hanya menekankan pada pendekatan demografis atau kependudukan saja kemudian berkembang lebih mengarah pada kesehatan reproduksi. Visi program KB  juga mengalami perubahan sesuai  dengan paradigma baru  yaitu  “ Keluarga Berkualitas 2015 “.
        Dengan paradigma baru itu, program KB  ke depan ditujukan untuk meningkatkan kualitas program dalam memenuhi hak-hak reproduksi, kesehatan reproduksi, pemberdayaan keluarga, pengentasan penduduk atau keluarga miskin, peningkatan kesejahteraan anak, pemberdayaan perempuan dan pengendalian kelahiran agar terwujud keluarga kecil yang bahagia dan sejahtera yang pada akhirnya menuju terwujudnya penduduk dan keluarga berkualitas ( BKKBN,2001 ).
        Tujuan program KB tersebut dilandasi oleh kesadaran yang kuat bahwa bagi setiap bangsa, penduduk merupakan sumber daya yang paling penting dan berharga. Karena itulah maka negara berkewajiban untuk menjamin  semua penduduk mendapatkan kesempatan mengembangkan potensi dirinya. Dengan kekuatan ( modal ) pada jumlah penduduk yang banyak ( rangking 4  penduduk terbanyak  di dunia ) maka kebijakan kependudukan menjadi prioritas nasional. Kebijakan Pembangunan sektor kependudukan khususnya program KB, karenanya memiliki posisi strategis. Pembangunan di sektor lain amat dipengaruhi keberhasilan dalam pembangunan sektor kependudukan. Oleh karena itu, program KB diposisikan sebagai bagian penting dari strategi pembangunan. Ketidakberhasilan keluarga berencana akan berdampak negatif terhadap sektor pendidikan, kesehatan, ketenagakerjaan dan lain-lain.

Desentralisasi
.    Dalam era reformasi, setelah jatuhnya pemeritahan orde baru, dari segi kelembagaan, kebijakan kependudukan seperti kehilangan arah. Sewaktu era kepemimpinan Presiden Aburahman Wahid dan juga Presiden Habibie, status menteri negara kependudukan yang sebelumnya menjadi tempat “ memasak “ kebijakan kependudukan malah dihilangkan. Presiden  Gus Dur kemudian membentuk Badan Administrasi Kependudukan dan Mobilitas Penduduk             ( BAKMP ). Namun status  lembaga ini dalam pemerintahan Megawati ditiadakan  dan diganti dengan  ( hanya ) membuka Dirjen Administrasi Kependudukan di Departemen Dalam Negeri dan Dirjen Mobilitas Penduduk di Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi.
        Dalam UU N0.22/1999 tentang Pemerintahan Daerah, bidang kependudukan dan Keluarga Berencana  juga tidak  masuk sebagai bidang yang wajib dilaksanakan di daerah. Hal ini memunculkan kesan kuat bahwa program kependudukan dan KB seakan-akan tidak lagi penting dilaksanakan di era otonomi daerah..Di tengah situasi yang “ tidak jelas”  seperti itu, kemudian muncul Kepres 166/2000  ditandatangani Presiden Gus Dur yang menegaskan bahwa program KB yang dikoordinir BKKBN sebagai instansi Vertikal. Kepres 166/2000 yang mensentralkan program KB pada era kepemimpinan Megawati  diganti dengan Kepres 103/2001 yang mendesentraliasikan program KB. Dalam Kepres 103/2001 ditegaskan agar program KB paling lambat akhir tahun 2003 ini sudah menjadi wewenang daerah.

Perlu Lembaga ?
        Berbagai perubahan kondisi lingkungan strategis di atas,  tentunya akan berdampak pada model strategic management program yang akan dijalankan, baik pada struktur program, strategi, maupun proses pengorganiasiannya. Dalam kaitan ini, berbagai hasil  kuantitatif dan kualitatif yang telah dicapai program KB selama ini  dapat menjadi modal dasar,  sebagai pintu masuk ( point of entry ) dan  sekaligus  pelopor untuk mendorong pempinan daerah ( eksekutif dan legislatif ) tentang urgensitas  pembangunan berwawasan kependudukan di daerahnya.
        Pembangunan berwawasan kependudukan secara sederhana dapat dilihat dalam dua sisi, yaitu ( 1 ) bagaimana mengintegrasikan aspek kependudukan dalam perencanaan pembangunan, dan ( 2 ) pembangunan kependudukan         ( penduduk ) itu sendiri agar dapat menjadi pelaku-pelaku pembangunan yang handal. Dalam hal ini bagaimana mengendalikan pertumbuhan penduduk, mengarahkan mobilitas penduduk, meningkatkan kualitas penduduk dan didukung dengan sistem informasi kependudukan yang menunjang tujuan pembangunan tersebut .
        Para perencana dan pengambil keputusan di daerah, sebagaimana diingatkan para ahli kependudukan, harus menyadari bahwa perencanaan pembangunan yang meniadakan variabel kependudukan merupakan kebijakan yang tidak sempurna ( not complete),  dan kebijakan kependudukan yang tidak dikaitkan dengan pembangunan adalah tidak bermakna ( not sound ).
       Pengalaman menunjukan bahwa strategi pembangunan yang hanya bertumpu pada pertumbuhan ( ekonomi ) tanpa melihat potensi penduduk yang ada, nyatanya tidaklah berlangsung secara berkesinambungan ( sustained ). Krisis ekonomi yang diikuti dengan krisis multidimensi yang dialami sekarang ini, terjadinya tidak lepas dari strategi pembangunan yang kurang mengindahkan dimensi kependudukan. Agar tidak terjadi krisis sama yang “menyengsarakan” generasi di masa mendatang,  diperlukan implementasi pembangunan yang berwawasan kependudukan. Untuk itu di daerah perlu ada kelembagaan kependudukan yang secara khusus memikirkan, merencanakan dan melaksanakan program kependudukan keluarga berencana. Penulis adalah Dosen Akademi Kebidanan Aisyiyah Surakarta dan Staff BKKBN Sukoharjo





















BIBLIOGRAFI

Erik Eckholm dan Kathleen Newland, 1984, Wanita, Kesehatan dan KB, Jakarta : Sinar Harapan.
Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional, 2002, Kependudukn,KB dan KS.. Jakarta.
-----------------------,1992, Undang-Undang RI NO.10/1992. Jakarta : JID.
-----------------------,2001, Visi dan Misi Program KB Nasionl. Jakarta
Khofifah Indar Parawansa, 2000, Pokok-Pokok Pikiran Kebijakan dan Strategi Era Baru Gerakan KB Nasional. Jakarta :  LDFE UI-Warta Demografi Tahun ke-30, N0.1, 2000.
KartonoWirosuhardjo,1981,Kebijakan Kependudukan.( Dasar-Dasar Demografi ) Jakarta.: LDFE UI
Kepres 103/2001, Tentang  Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi, Dan Tata Kerja LPND, Jakarta : 2001
Prijono Tjiptoherijanto,2002, Kelembagaan Kependudukan Era Otda. Jakarta : LDEFE-Warta Demografi Tahun-32,N0.4,2002
Sutarmo, 2000, Aspek Gender dalam Pelaksanaan KB, Semarang : HU Suara Merdeka, 29 Juni 200.Halaman IV.

Arsip/Aspek G-stm


Tidak ada komentar:

Posting Komentar